eksistensial humanistik halaqah

27 03 2013

KONSEP DASAR
Manusia :

 
– dilahirkan dgn pembawaan dasar yang baik;
– memiliki kecenderungan yg bertuju-an positif, konstruktif, rasional, dan sosial;
– berkeinginan untuk maju;

- memiliki kapasitas untuk menilai diri dan mampu membawa dirinya untuk mengaktualisasikan diri; – memiliki kesadaran diri; – memiliki kebebasan dan tanggung jawab untuk memilih/ memutuskan nasibnya sendiri; mencari makna yang unik dalam hidupnya  
  TUJUAN HALAQOH   Membantu individu agar merasa bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupan yang Islam (menjadi pribadi muslim dengan10kompetensi)     - Menghilangkan penghambat aktualisasi potensi diri
- Menemukan dan menggunakan kebebasan memilih - Menyajikan kondisi untuk memfa- silitasi Mutarabi menyedari kebera- daannya secara otentik - Memahami potensinya dan menya- dari bahwa ia dapat bertindak sesuai dengan potensinya/ kemampuannya      
KEBERADAAN OTENTIK   - Menyadari sepenuhnya keadaan sekarang - Memilih bagaimana hidup pada saat sekarang - Siap memikul tanggung jawab atas pilihannya      
POLA HUBUNGAN MURABBI-MUTARABI
TEKNIK PENDEKATAN  





antigravitasi

23 03 2013

 

edit23





Model Bimbingan Belajar Melalui Bermain Peran Berbasis Islam Untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini

26 03 2012

ABSTRACT

 

Learning Guidance Model through Islamic-based Role Playing to Improve very Young learners’ Emotional Intelligent ( a Research on Group B of PG IT B Utsman bin Affan Kudus)

 

Taufiq *

To achieve the purpose of education requires a method / technique for making ease educational materials teaching to achieve these educational goals, one of the methods / techniques in learning guidance is role-playing to enhance the emotional intelligence of students. While the implementation of learning guidance through role-playing in PGIT Ustman bin Affan Kudus has been done by the teacher but this displaying is not maximized and the frequency has been rare and incidental. To achieve the goal of education, it is required, role playing techniques  development based on religion value-indigo in the role playing implementation, that is by developing a model into the learning guidance through Islamic based on role playing. The purpose of this study are to determine (1) the real condition of learning gudance through role playing in PGIT Utsman bin Affan Kudus, (2) finding a guidance model through Islamic-based on ole-playing to enhance the students’ emotional intelligence.

This study uses research and development method. research and development Method is a method used to produce a particular product, and to examine the effectiveness of that product. The basic consideration to the use of this is that the effective strategies of research and development to develop and validate  education product. This research uses observation techniques by determining the sample i.e., the student on group B. that Sample is determined in advance,  that is the group B students by the amount to seven students. The research results by the seven students’ in PGIT Utsman bin Affan Kudus, shows that globally, the learning guidance model can be developed into learning guidance through Islamic based role playing. This is proved by the effectiveness in improving students’ emotional intelligence. From the research results showed it’s happen an increase in all aspects of students’ emotional intelligence.

The result indicate the successful model development of the model and can contribute to the students’ emotional intelligence improvement, and then it’s suggested that: the results of this development study gives theoretical contribute in the form of conceptual input, methodological, and findings. It can be used as a servant model to the students, and this model still open for further researcher to be further-developed by extending component model, to accommodate substance aspects of learning guidance services.

 

*(Program Studi BK PPs UNNES)

 

Keywords: Emotional intelligence, Islamic-based on role-playing model

================================================================

PENDAHULUAN

Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan. Sedangkan perkembangan adalah suatu proses perubahan, dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari berbagai aspek. Sedangkan emosional, berkaitan dengan ekspresi emosi atau perubahan-perubahan mendalam yang menyertai emosi dan mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan tingkah laku emosional (Chaplin, 2009: 163). Jadi anak usia dini yang emosinya baik, akan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari emosi/suasana hati ke suasana hati yang lain, demikian pula sebaliknya (Hurlock, 2006:155).

Metode bermain peran lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran, (Hafidz, M, 2010, dalam http://bobezani.tripod.com ). Melalui bermain peran (role playing), para peserta didik mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya sehingga secara bersama-sama peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan emosional, (Komara, E, 2009: 3). Hal ini sejalan dalam penelitian (Manorom, K., & Pollock, Z., 2006. jaournal of Role Playing as a Teaching Method. 84,5-10). Demikian pula Tim BP, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1999) senada dengan pendapat Husen dan Postlethwaite (1988: 113) mengemukakan bahwa permainan bermain peran mamadukan karakteristik permainan (pemain, aturan, kompeisi/kerjasama) dengan karakteristik bermain peran (representasi realitas).

Pengertian Bermain Peran Berbasis Islam

Permainan bermain peran menurut pendapat Romlah, (2001:89), mengemukakan bahwa permainan bermain peran adalah permainan yang dimaksud untuk mencerminkan situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya. Adapun dalam Islam dijelaskan tentang kecendeungan manusia yang ber belajar , dan saling membutuh antara individu satu dengan yang lainnya, hal tersebut sesuai dengan Al Qur`an surat Al-Hujurat 13: 49, yang artinya sebagai berikut:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan  dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat 13: 49)

Al-Qur`an surat Al-Maidah 5: 2, dan Ali-Imran3: 159, yang artinya sebagai berikut;

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “(QS. Al-Maidah 5: 2)

Adapun bermain peran berbasis Islam merupakan alat untuk mengembangkan kecendeungan individu untuk bebelajar  dan bekerjasama dalam interaksi sosial. Hal ini sesuai dengan Al-Qur`an surat Asy-Syamsu 91:8-10, yang artinya sebagai berikut;

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”. (QS. Asy-Syamsu 91:8-10)

Dengan demikian dalam meningkatkan kecerdasan emosioan dibutuhkan satu pendekatan yang mendekati kondisi anak usia dini yang didasarkan pada nilai-nilai agama sebagai landasan pada metode bermain peran. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diangkat menjadi sebuah judul penelitian, “model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis islam  untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia dini”.

 

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Metode penelitian dan pengembangan merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2009: 407). Dasar pertimbangan penggunaan pendekatan ini adalah pendapat Borg dan Gall (1983: 775) bahwa strategi penelitian dan pengembangan efektif untuk mengembangkan dan memvalidasikan produk pendidikan. Produk yang dimaksud adalah model model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia dini.

Secara keseluruahan, tahap-atahap penelitian yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah: (1) studi pendahuluan, (2) perancangan model hipotetik, (3) uji kelayakan, (4) revisi, (5) model hipotetik hasil revisi, (6) uji lapangan, (7) revisi, (8) model yang telah teruji.

Prosedur Pengembangan

Tahap I: Persiapan Pengembangan Model Bimbingan Belajar melalui Bermain Peran berbasis Islam

Kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap I adalah sebagai berikut:

a.       Studi evaluasi yaitu (memotret kondisi obyektif di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus ), yang meliputi: (1)Mendiskripsikan temuan tentang kebutuhan siswa untuk peningkatan kecerdasan emosional. (2) Mendiskripsikan temuan penelitian tentang kondisi objektif lingkungan belajar siswa di sekolah, (3) Mendiskripsikan temuan pelaksanaan bermain peran di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap kajian teori adalah :

b.      Mengkaji konseptual model bimbingan belajar  dan kecerdasan emosional

c.       Mengkaji hasil penelitian yang relevan dengan pengembangan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional.

d.      Mengkaji ketentuan formal pelaksanaan bimbingan belajar  di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus

Tahap II: Merancang Model Hipotetik Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut: a) merancang model yang dikembangkan berdasarkan kajian teoritik, kondisi obyektif di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus, kajian hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan ketentuan formal pelaksanaan bemain peran di PAUD. b) analisis kesenjangan antara model hipotetik dengan implementasi aktual dilapangan. c) mendsikripsikan kerangka kerja kolaboratif dengan guru di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus dalam menguji kelayakan model.

Tahap III: Uji kelayakan Model Hipotetik Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam

Pada tahap ini, yang dilakukan peneliti adalah:a) uji Kelayakan melalui validasi pakar dengan para ahli bimbingan dan konseling, dan para paktisi / guru serta teman sejawat di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus. b) mendiskripsikan hasil dari berbagai masukan dan saran untuk memperbaiki model

Tahap IV: Perbaikan Model Hipotetik (Teruji 1)

Berdasarkan hasil pelaksanaan uji kelayakan di atas, peneliti melakukan kegiatan: a) mengevaluasi hasil uji-kelayakan model hipotetik. b) memperbaiki model hipotetik secara kolaboratif. c) tersusunya model hipotetik bimbingan belajar  berbasis ajaran Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus   (model teruji I).

Tahap V: Uji-Lapangan (Uji-Empirik) Model Hipotetik

Pelaksanaan uji lapangan dilakukan peneliti bersama guru melalui langkah-langkah berikut ini: a) menyusun rencana kegiatan uji-lapangan. b) melaksanakan uji-lapangan. c) mendsikripsikan hasil pelaksanaan uji-lapangan.

Tahap VI: Merancang Model “Akhir”  Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam (Teruji II)

Langkah-langkah yang ditempuh dalam tahapan ini adalah sebagai berikut: a) mengevaluasi hasil uji-lapangan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam (teruji I). b) memperbaiki model secara kolaboratif. c) tersusun model “akhir” bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa (model teruji II).

Setelah melalui proses tersebut barulah dapat dihasilkan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam sebagai model yang telah teruji tahap II. Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dihasilkan ini diharapkan dapat diterapkan di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus dan menunjukkan peningkatan kecerdasan emosional siswa dan peningkatkan kualitas layanan bantuan kepada siswa secara professional.

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada dua data yang harus diungkap, yaitu kondisi awal pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran dengan kecerdasan emosional siswa. Untuk mengungkap kondisi awal pelaksanaan bermain peran menggunakan wawancara, sedangkan untuk mengungkap kecerdasan emosional anak/siswa menggunakan observasi yang berbentuk chek list.

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari dafatar cek masalah dalam pendekatan bermain peran berbasis Islam, adalah tentang kemampuan anak dalam meningkatkan kecerdasan emosional dengan nilai-nilai Islam sebagai landasan beremosional. Selanjutnya menganalisis daftar cek masalah tersebut.  Menurut Sutoyo (2009: 126-127) analisis daftar cek masalah ini meliputi analisis individual dan analisis belajar. Selanjutnya untuk memperoleh gambaran tentang implikasinya dalam bimbingan, digunakan model analisis implikasi. Sedangkan untuk menganalisis dampak strategi pada setiap tindakan digunakan analisis deskriptif kualitatif.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Model bimbingan belajar melalui bermain peran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model bimbingan belajar melalui bermain peran yang anggotananya terdiri dari siswa yang memiliki masalah dalam kecerdasan emosional dan nilai-nilai Islam sebagai landasan bermain peran untuk peningkatan kecerdasan emosional siswa. Romlah, (2001:89), mengemukakan bahwa bermian peran adalah permainan yang dimaksudkan untuk mencerminkan situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya. Adapun Stewart, et al., (1978: 89) menjelaskan bahwa bermain peran adalah suatu representasi operasional sifat-sifat situasi nyata yang menyediakan pembelajaran dengan lingkungan belajar yang relative aman, sederhana, dan saling berhubungan secara erat. Demikian pula Tim BP, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1999) mengemukakan bahwa permainan merupakan suatu aktivitas manusia yang menyenangkan, bersemangat, dan kompetitif dengan mentaati aturan-aturan yang sudah ditentukan sesuai dengan jenis permainnannya. Sementara itu, Husen dan Postlethwaite (1988: 113) mengemukakan bahwa permainan bermain peran mamadukan karakteristik permainan (pemain, aturan, kompeisi/kerjasama) dengan karakteristik bermain peran (representasi realitas).

Model bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam  dalam penelitian ini dirumuskan dari kerangka kerja yang berlandaskan pada teori bimbingan belajar melalui bermain peran   dan didasarkan dari sumber yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dari kerangka kerja model tersebut kemudian disusun model hipotetik untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Model hipotetik tersebut tersusun atas atas 7 komponen sebagai berikut: (1) Rasional, (2) Konsep Kunci, (3) Visi Misi model , (4) Tujuan Model (5) Isi model , (6) bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam , yang terdiri atas 9 aspek yaitu: (a) Pengertian Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam , (b) Peran Guru , (c) Fungsi Guru , (d) Kualifikasi Guru , (e) Prosedur kerja model , (f) Anggota Belajar , (g) Sifat Topik, (h) Suasana Interaksi dan (i) Tahap-Tahap pelaksanaan Bimbingan belajar melalui bermain peran  . Dan komponen model yang terakhir, (7) Monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.

Berdasarkan sajian data hasil penelitian dan pengujian hipotesis penelitian di atas maka pada bagian di bawah ini disajikan pembahasan terhadap temuan hasil penelitian yang meliputi (1) kefektifan model, (2) kefektifan model bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan aspek kecerdasan emsoional, dan (3)  keefektifan model bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa berdasarkan jenis kelamin.

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilakn model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang efektif bagi pengingkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan serangkaian aktivitas pengembangan model yang diakhiri dengan merevisi hasil kegiatan eksperimen keefektifan model tersebut dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus.

Hasil uji hipotesis pertama dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model bimbingan belajar melaui bermain peran berbasis Islam efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa, dibuktikan dengan rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa sebelum mendapatkan perlakuan model  berbeda secara signifikan dari rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa setelah mendapatkan perlakuan. Dalam hal ini rerata skor perolehan  kecerdasan emosional siswa setelah mendaptkan perlakuan model  (62.8) lebih besar daripada rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa sebelum mendapatkan perlakuan model (55.7). terjadi peningktan kemampuan kecerdasan emosional dengan perolehan rarata (34.4)  dalam  hal ini menunjukkan, besar kebermaknaannya dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa di PGIT.

Dengan demikian hasil penelitian ini memiliki tingkat efektifitas dan  sekaligus signifikansi praktis. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian tersebut dapat dicapai, yaitu diperolehnya model bimbinganbbelajar melalui bermain peran berbasis Islam yang efektif bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus. Ketercapaian tujuan tersebut disebabkan antara lain oleh (1) kepraktisan prosedur pelaksanaan model sehingga memudahkan para guru membantu siswa meningkatkan kecerdasan emosional mereka, (2) kemudahan penggunaan panduan bagi pelaksanaan model untuk peningkatan kecerdasan emosional siswa, (3) fleksibilitas pelaksanaan model bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa, (4) aktivitas dan bahan-bahan model memiliki tingakat kemiripan yang tinggi dengan kehidupan nyata siswa, dan (5) revisi model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam dan panduannya secara berkelanjutan muali dari perencanaan, uji kelayakan, uji keterlaksanaan, dan uji keefektifan sehingga model tersebut benar-benar dapat diterapkan bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus.

Disamping itu, keefektifan model bagi peningktan kecerdasan emosional siswa didukung oleh kenyataan bahwa dalam proses pelaksanaan model tersebut, para siswa (a) dilatih mengenali, mengelola, memotivasi, menganli emosi orang lain, dan berhubungan dengan orang lain secara intensif sebagaimana dikemukakkan oleh Goleman (2002), (b) aktif dan terarah dalam mempraktikkan semua aspek kecerdasan emosional mereka, (c) memperolah banyak model dan kesempatan yang luas untuk mempraktikkan semua aspek kecerdasan emosional mereka dalam suasana yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Demikian pula bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam tersebut mejadikan aktivitas para siswa menjadi pusat kegiatan dan menjadikan mereka belajar dari kegiatan tersebut (McCown & Roop,2002) Dengan demikian pula model tersebut untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa karena model tersebut menyediakan lingkungan belajar yang diperlukan pengembangan kecerdasan emosional tersebut sebagaimana dikemukakan Caruso dan Wolpe (2001) bahwa pengembangan ketrampilan kecerdasan emosional memerlukan komponen pengetahuan dan komponen pengalaman sebagaimana tercakup dalam model bimbingan belajar melalui bermain peran berbsis Islam. Kondisi tersebut memungkinkan siswa dapat mengembangkan semua aspek kecerdasan emosional mereka secara efektif, alamiah dan bermakna bagi hidup mereka.

Temuan penelitian di atas menunjukkan bahwa keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGTI Utsman bin Affan Kudus mendukung (1) DePorter & Hernacki (1992) yang menyatakan bahwa kognisi dan emosi anak berkembang melalui permainan, peniruan, dan cerita, dan (2) Elias, Hunter, & Kress (2001) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri atas seperangkat keterampilan dan kebanyakan keterampilan tersebut dapat ditingkatkan melalui kegiatan pendidikan. Disamping itu, temuan penelitian tersebut memperkuat temuan penelitian sebelumlunya tentang kefektifan permainan simulasi peran dalam meningkatan berbagai asoek keoribadian subjek penelitian sebagaimana yang dilakukan Tim BP-7 Propinsi jawa Timur (1987), Flurentin (1993), dan Mansyur (2001).

Dari pengujian hipotesis kedua ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor perolehan kemampuan siswa untuk setiap aspek kecerdasan emosional tersebut. Dengan demikian model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam memiliki keefektifan yang berbeda bagi peningkatan masing-masing aspek kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus. Dalam hal ini rerata sekor perolehan siswa dalam kemampuan (1) mengenali emosi diri adalah (13,4), (2) mengelola emosi diri adalah (32,1), (3) memotivasi emsoi diri adalah (8,6), (4)  menganli emosi orang lain adalah (17,12), dan (5) berhubungan dengan orang lain adalah (22,7). jika diurutkan dari yang terbesar maka urutan rerata skor perolehan siswa pada masing-masing kemampuan tersebut adalah (1) mengelola emosi diri adalah (32,1), (2) berhubungan dengan orang lain adalah (22,7)., (3) menganli emosi orang lain adalah (17,2), (4)  mengenali emosi diri adalah (13,4), dan (5) memotivasi emsoi diri adalah (8,6).

Dari data di atas, ditemukan ada perbedaan skor  perolehan kemampuan yang signifikan antara aspek mengelola emosi diri (32,1) dengan aspek mengnali emosi diri (13,4), dan aspek memotivasi emsoi diri adalah (8,6) sedangkan, pada aspek berhubungan dengan orang lain adalah (22,7) dan rerata aspek menganli emosi orang lain adalah (17,2).

Hasil analisis lanjutan tersebut menunjukkan bahwa model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman emosi daripada kemampuan pengelolaan emosi. Jika diurutkan tingkat keefektifan pengaruh model tersebut terhadap peningkatan kemampuan siswa pada masing-masing aspek kecerdasan emosional maka secara berturut-turut adalah sebagai berikut.(1) aspek mengelola emosi diri (2)  berhubungan dengan orang lain (3)  menganli emosi orang lain (4)  mengenali emosi diri adalah (5)  memotivasi emsoi diri.

Mengapa model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam ini lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kamampuan pemahaman emosi siswa daripada kemampuan pengelolaan emosi. Hal ini terjadi antara lain karena (a) kemampuan pengelolaan emosi lebih sulit dan lebih kompleks daripada kemampuan memahami emosi dan (b) kamampuan pengelolaan emosi lebih banyak membutuhkan waktu dan keterampilan daripada kamampuan memahami emosi.

Di sisi lain, kemampuan pemahaman emosi lebih mudah dikembangkan daripada kemampuan pengelolaan emosi karena (a) kamampuan tersebut lebih sesuai dengan kebiasaan sehari-hari para siswa dalam kegiatan pembelajaran yang lebih banyak menggunakan kamampuan intelektual daripada kemampuan emosional mereka dan (b) hasil penelitian Mayer, Solovey, dan Caruzo (2004) menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman emosi adalah aspek kecerdasan emosional yang paling tinggi korelasinya dengan kecerdasan intelektual sedangkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang lainnya lebih rendah korelasinya.

Salah satu Kondisi Umum  pokok yang mempengaruhi perilaku individu adalah jenis kelamin. Hal ini terjadi karena jenis kelamin tersebut akan mempengaruhi bagaimana lingkungannya memperlakukan individu dan demikian pula bagaimana individu tersebut merespons harapan lingkungannya. Interaksi diri dan lingkungan yang berbeda tersebut yang menyebabkan siswa laki-laki berbeda dari siswa perempuan dalam mereaksi lingkungan dan dari mereka sendiri. Oleh karena itu maka model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan ini akan mempunyai keefektifan pengaruh yang berbeda kapada siswa berdasarkan jenis kelamin mereka.

Berdasakan hasil perolehan  rerata kecerdasan emosional siswa laki-laki dan perempuan di temukan bahwa skor perolehan siswa laki-laki ( 0.1%) dan skor perolehan siswa perempuan (17.3%) hal ini berarti rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di tinjau dari jenis kelaminnya. Rerata perolehan skor kecerdasan emosional siswa laki-laki 0,1% sedangkan rerata perolehan skor kecerdasan emosional siswa perempuan 17,3% dengan demikian model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam memiliki keefektifan lebih pada siswa perempuan disbanding dengan siswa laki-laki  bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa belajar  B PG IT Utsman bin Affan Kudus bagi anak laki-laki maupun perempuan.

Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan kecerdasan emosional berdasarkan jender (Brackett, Mayer, dan Werner,2004) perbedaan tersebut dapat dieliminasi karena model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan tersebut mengakomodasi kepentingan jender yang relative sama. Hal ini dapat dilihat dari (1) segi prinsip pelaksanaannya yang menekankan pada pelayanan bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam kepada semua siswa tanpa memandang latar belakan mereka termasuk jender, (2) pemeran kasus dalam berberan dan scenario permainan bermain peran berbasis Islam berasal dari kedua jender secara seimbang, (3) kasus yang ditampilkan dalam beberan dan scenario bermain peran berbasis Islam bersifat umum yang dapat dialami oleh siswa dari kedua jender, dan (4) fasilitasi guru dalam proses permainan bermain peran berbasis Islam memperhatikan kepentingan kedua jender.

Temuan bahwa ada perbedaan dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa laki-laki dan siswa perempuan setelah penerapan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam akan tetapi keduanya menyatakan terjadi peningkatan kemampuan dalam kecerdasan emosional, hal tersebut memperkuat hasil penelitian  (a) Gage & Berliner (1991) yang menemukan bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan tentang perbedaan berbagai bidang kemampuan anak laki-laki dan permpuan sehingga guru tidak perlu membedakan perlakuan terhadap siswa laki-laki dan perempuan, (b) Prawitasari (1995) yang menemuakan bahwa yang menemukan bahwa orang laki-laki dan perempuan di Indonesia tidak berbeda dalam hal kemampuan mengaritkan emosi yang diekspresikan orang lain. Hal ini semua senada dengan penjelasan Santrock (1994) yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan dalam kebanyakan pengalaman emosional. Kedua belajar  tersebut sama-sama mengalami rasa cinta, cemas, kasih saying, marah saat dihina, sedih saat putus hubungan cinta, dan malu saat berbuat kesalahan di muka bumi.

 

SIMPULAN

  1. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa secara global, siswa memiliki kemampuan (67.5%) pengenalan emosi diri, (48.1 %) pengelolaan emosi diri, (62.4%) memotivasi diri, (57.7%) mengenali emosi orang lain, dan (42.8%) membina hubungan baik dengan orang lain. Sedangkan pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran telah dilaksanakan oleh guru namun belum maksimal dan frekuensi pelaksanaanya jarang serta bersifat insidental.
  2. Rumusan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islami yang dikembangkan dalam penelitian ini disusun dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan hadist sehingga memiliki spesifikasi yang berbeda dari model bimbingan belajar  yang sudah ada di sekolah. Pelaksanaan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dilaksanakan di PGIT Utsman bin Affan Kudus dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada hasil wawancara dengan guru dalam beberapa aspek, yaitu: (a) keterlaksanaan model , (b) Tujuan pelaksanaan model , (c) Komponen model , (d) perencanaan model , (e) Tahap-tahap pelaksanaan model , (f) Evaluasi dan tindak lanjut serta (g) Faktor penunjang dan hambatan pelaksanaan model.
  3. Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan dalam penelitian ini terbukti efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Hal ini dibuktikan dari hasil uji keterlaksanaan dan uji keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berasis Islam. untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa, menunjukkan bahwa rerata skor rerata pretes  jika dibanding kan dengan perolehan rerata sekor posttes menunujkkan adanya peningkatan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Borg, W.R.& Gall, M.D.1983 Educational Reasearch: An Introduction. New York:Longman.Inc

Caruso, D.R. & Wolpe, C.J., 2001. Emotional Intellegence at the Workplace. Dalam ciarrochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, D.J. (Eds.) Emotional Intelligence in Everyday Life. Philadelphia, Pennsylvania: Psychology Press.

Chaplin, J. P. 2009, Dictionary of Psychology, (Terjemah. Kartini Kartono) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Departemen Agama RI. 2001. Al-Qur’an dan Terjemah (Transliterasi Arab-Latin). Semarang: CV. Ass-Syifa

DePorter, B., & Hernacki, M.  1992. Quantum Learning: Unleashing the Genius in You. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc.

Elias, M.J., Hunter, E.,  Kress,  J.I., 2001. Emotional Inellegence and Education. Dalam Ciarrochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, J.D. (eds). Emotional Intelligence in Everyday Life. Philadelphia, Pennsylvania: Psychology Press.

Flurentin, E., 1993. Permainan Simulasi dan Bimbingan Karir. Ilmu pendidikan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Gage, N.L., & Berliner, D.C. 1991. Educational Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company.

Goleman, D. 2002. Emotional Intelligence: Kecedasan Emosional. Penerjemah Hemaya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hafidz, E., 2010.   Teknik Pengajaran dan Pembelajaran  : bobezani.tripod.com. http://bobezani.tripod.com/2010/03/teknikpengajarandan embelajaran.htm(diunduh 20 Oktober 2003)

Hurlock. E. B. 2006. Devolopmental Psycology: A Life Span Approach, Fifth Edition, Mc Graw Hill.inc, (Terjemah. Istiwidayanti dan Soedjarwa) Yogjakata: Erlangga.

Husen, T.,  & Postlethwaite, T.N.,  1988. The Intenaional Encyclopedia o Educaion. OxFord: Pergamon Press.

Komara, E., 2009. Model Bermain Peran Dalam Pembelajaran, Jakarta: Penerbit Karunika.  

Manorom, K., & Pollock, Z., 2006. Role Play as a Teaching Method: A Practical Guide : jaournal of Role Playing as a Teaching Method. 84,5-10. (diunduh 9 Desember 2006)

 

Mansyur, J., 2001. Pengembangan Paket Permainan sebagai media layanan konsultasi bagi orang tua siswa, Tesis Maiser pada FPS IKIP MALANG: tidak diterbitkan

Mayer J.D., Salovey, P., & Caruso, D.R. 2004. Model of Emotional Intelligence, Theory, Findings and Implications, Psychological Inquiry, Vol 15 No. 3. (pp. 197-215). Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

McCown, R.R., & Roop, P. 2002. Education Psychology and Classroom Practices: A Partnership. Toronto: Allyn & Bacon.

Prawitasari, J.E., Martani, W., Adiyatni, M.G.,  1995. Konsep Emosional Orang Indonesia: Pengungkapan dan Pengertian Emosi Melalui Komunikasi Non Verbal di Masyarakat yang Berbeda Latar Budaya. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Romlah, T., 2001. Teori dan Prakik Bimbingan Belajar . Malang: Penerbit: UM

Santrock, J.W. 1994. Psychology. Madison, Wisconsin: WCB. Brown & Benchmark.

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Sutoyo, Anwar, 2009, Pemahaman Individu, Observasi, Checklist, kuesioner & Sosiometri, Semarang: Widya Karya.

Stewart, N.R., 1978. Systematic Counseling. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall,Inc.

Tim- BP7 Propinsi Dati I Jawa Timur, 1987. Permainan Simulasi: Kelahiran dan Perkembangannya di Jawa Timur. Jakata: alai Pustaka





MODEL BIMBINGAN BELAJAR MELALUI BERMAIN PERAN BERBASIS ISLAM UNTUK MENINGKATKAN KECERDASAN EMOSIONAL ANAK USIADINI

26 03 2012

ABSTRAK

 

 

Model Bimbingan Belajar Melalui Bermain Peran Berbasis Islam  Untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional Anak Usia Dini (Penelitian pada kelompok B  PG IT Utsman bin Affan kudus).

 

(Taufiq*)

Dalam memcapai tujuan pendidikan dibutuhkan suatu metode/teknik untuk memudahkan penyampaian materi pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut, salah satu metode/teknik dalam bimbingan belajar adalah bermain peran untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Sedangkan pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran di PGIT Utsman bin Affa Kudus telah dilaksanakan oleh guru namun belum maksimal dan frekuensi pelaksanaanya jarang serta bersifat insidental. Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut maka dibutuhkan pengembangan teknik bermain peran dengan mendasarkan nilai-nila agama pada pelaksanaan bermain peran, yaitu dengan mengembangkan model manjadi bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui (1) kondisi riil bimbingan belajar melalui bermain peran di PGIT Utsman bin Affan Kudus, (2) menemukan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Metode penelitian dan pengembangan merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Dasar pertimbangan penggunaan pendekatan ini adalah bahwa strategi penelitian dan pengembangan efektif untuk mengembangkan dan memvalidasikan produk pendidikan.Penelitian ini menggunakan teknik observasi dengan menentukan sampel yaitu, siswa kelompok B.Sampel ditentukan terlebih dahulu yaitu, siswa kelompok B dengan jumlah 7 orang siswa yang mengalami masalah pada peningkatan kecerdasan emosi.  Hasil penelitian terhadap 7 siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus, menunjukkan bahwa secara global, model bimbingan belajar melalui bermain peran bisa dikembangkan menjadi bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam. Model tersebut terbukti efektivitas dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Dari hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan pada semua aspek kecerdasan emsosional siswa.

Dari hasil penelitian, menunjukkan keberhasilan pengembangan model dan dapat memberikan kontribusi bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa, kemudian disarankan: hasil penelitian pengembangan ini memberi kontribusi teoretis berupa input konseptual, metodologis, dan findings.Dapat digunakan sebagai salah satu model layan terhadap siswa, serta model ini masih terbuka bagi peneliti selanjutnya untuk diujikembangkan lebih lanjut dengan memperluas komponen model, mengakomodir aspek subtansi layanan bimbingan belajar.

 

*(Program Studi BK PPs UNNES)

 

Kata kunci : Kecerdasan emosional, model bermain peran berbasis Islam.

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

PENDAHULUAN

Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa depan. Dalam menemukan pribadi dimaksudkan mengenal kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri siswa. Sesuai dengan pengertian bimbingan sebagai upaya untuk membantu perkembangan kepribadian siswa secara optimal, maka secara umum bimbingan di sekolah harus dikaitkan dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia.

Sedangkan perkembangan adalah suatu proses perubahan dimana anak belajar menguasai tingkat yang lebih tinggi dari berbagai aspek. Salah satu aspek penting dalam perkembangan adalah aspek perkembangan kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional adalah kemampuan, kapasitas atau keterampilan seseorang untuk dapat menerima, mengukur dan mengatur emosi dirinya sendiri, orang lain atau bahkan kelompok sehingga memudahkannya berinteraksi sehari-hari.

Anak yang tidak diberi ruang untuk berkembang secara emosi dapat tumbuh menjadi pribadi yang sulit. Hal tersebut dapat terbawa terus hingga memasuki masa dewasanya. Pertumbuhan dan perkembangan jiwa dan fisik yang harmonis menjadi cikal bakal pribadi anak yang sehat yang sangat dibutuhkan saat mereka tumbuh dewasa nanti. Cerdas emosi bukan hanya kewajiban anak seorang diri. Peran aktif orang tua sangat penting dalam proses perkembangan kecerdasan emosi anak. Cerdas emosi merupakan proses timbal balik dengan lingkungannya serta pembelajaran yang diperoleh anak dari aktifitas sehari-hari. Selain aktifitas sehari-hari, anak juga memerlukan lingkungan pendidikan yang baik dan membutuhkan pendekatan/teknk belajar yang menyesuaikan kondisi anak pada masa ini, yaitu masa bermain, dengan demikian dibutuhkan satu metode yang tepat yaitu bermain peran.

Bermain peran pada prinsipnya merupakan metode untuk ‘menghadirkan’ peran-peran yang ada dalam dunia nyata ke dalam suatu ‘pertunjukan peran’ di dalam kelas/pertemuan, yang kemudian dijadikan sebagai bahan refleksi agar peserta memberikan penilaian terhadap permainan tersebut. Misalnya: menilai keunggulan maupun kelemahan masing-masing peran tersebut, dan kemudian memberikan saran/ alternatif pendapat bagi pengembangan peran-peran tersebut. Metode ini lebih menekankan terhadap masalah yang diangkat dalam ‘pertunjukan’, dan bukan pada kemampuan pemain dalam melakukan permainan peran, (Hafidz, M, 2010, dalam http://bobezani.tripod.com ).

Melalui bermain peran (role playing), para peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan antar manusia dengan cara memperagakannya dan mendiskusikannya sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi perasaan, sikap, nilai, daan berbagai strategi pemecahan masalah. Sebagai suatu model pembelajaran, bermain peran berakar pada dimensi pribadi dan emosional, (Komara, E, 2009: 3). Hal ini sejalan dalam penelitian (Manorom, K., & Pollock, Z., 2006. jaournal of Role Playing as a Teaching Method. 84,5-10).

Dari dimensi pribadi model ini berusaha membantu peserta didik menemukan makna dari lingkungan sosial yang bermanfaat bagi dirinya. Juga melalui model ini para peserta didik diajak untuk belajar memecahkan masalah pribadi yang sedang dihadapinya dengan bantuan kelompok sosial yang beranggotakan teman-teman sekelas. Dari dimensi emosional, model ini memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dalam menganalisis situasi sosial, terutama masalah yang menyangkut hubungan antar pribadi peserta didik. Pemecahan masalah dilakukan secara demokratis.

Hubungan antara emosi dan emosional seseorang sangat berkaitan erat. Emosi dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Jadi dari berbagai macam emosi yang ada dalam individu tersebut akan mendorongnya untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Sedangkan emosional, berkaitan dengan ekspresi emosi atau dengan perubahan-perubahan yang mendalam yang menyertai emosi dan mencirikan individu yang mudah terangsang untuk menampilkan tingkah laku emosional (Chaplin, 2009: 163). Jadi anak usia dini yang emosinya baik, akan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari emosi/suasana hati ke suasana hati yang lain, demikian pula sebaliknya (Hurlock, 2006:155).

Adapun permainan bermain peran merupakan kombinasi unsur-unsur permainan karakteristik model realitas yang di dalamnya para pemain bertindak di bawa seperangkat aturan untuk mencapai tujuan tertentu. Demikian pula Tim BP, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1999) mengemukakan bahwa permainan merupakan suatu aktivitas manusia yang menyenangkan, bersemangat, dan kompetitif dengan mentaati aturan-aturan yang sudah ditentukan sesuai dengan jenis permainnannya. Selanjutnya Tim tersebut mengemukakan bahwa bermain peran merupakan tiruan, perumpamaan, berandai-andai yang sudah lama dikenal baik di negara-negara maju maupun di Negara-negara berkembang. Sementara itu, Husen dan Postlethwaite (1988: 113) mengemukakan bahwa permainan bermain peran mamadukan karakteristik permainan (pemain, aturan, kompeisi/kerjasama) dengan karakteristik bermain peran (representasi realitas). Jika kehidupan nyata disimulasikan secara kompetitif atau kooperatif maka permainan bermain peran cenderung berkembang secara alamiah. Demikian pula simulasi permainan bermain peran merupakan pengalaman buatan yang mewakili pengalaman yang terjadi secara alamiah dalam kerja guru.

Pengertian Bermain Peran Berbasis Islam

Permainan bermain peran merupakan upaya penciptaan lingkukngan bagi para partisipan atau pemain yang tidak akan mengalaminya sebagaimana biasanya. Senada dengan pendapat tersebut, (romlah, 2001:89), mengemukakan bahwa permainan bermain peran adalah permainan yang dimaksud untuk mencerminkan situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya.

Adapun dalam Islam dijelaskan tentang kecendeungan manusia yang ber kelompok, dan saling membutuh antara individu satu dengan yang lainnya, hal tersebut sesuai dengan Al Qur`an surat Al-Hujurat 13: 49, yang artinya sebagai berikut:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan  dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat 13: 49)

Manusia, selain kecenderungan berkelompok, juga mempunyai kecenderungan ingin bersama dengan individu yang lain dan bekerjasama, sebagai wadah untuk mencapai eksistensi, hal ini sesui dengan keeangan dalam Al-Qur`an surat Al-Maidah 5: 2, dan Ali-Imran3: 159, yang artinya sebagai berikut;

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “(QS. Al-Maidah 5: 2)

Adapaun bermain peran merupakan alat untuk mengembangkan kecendeungan individu untuk bekelompok dan bekerjasama, juga untuk menumbuhkan potensi-potensi berprilaku baik dalam interaksi social dengan kelompok melalui bermain peran berbasis Islam. Hal ini sesuai dengan Al-Qur`an surat Asy-Syamsu 91:8-10, yang artinya sebagai berikut;

“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya dan sungguh merugilah orang yang mengotori jiwanya”. (QS. Asy-Syamsu 91:8-10)

Adanya hubungan antara anak usia dini yang emosinya baik, akan memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak berubah-ubah dari emosi/suasana hati ke suasana hati yang lain, demikian pula sebaliknya yang dikemukakan  Hurlock, (2006:155) maka peran merupakan aktivitas menyenangkan yang bertujuan dalam situasi yang merefleksikan keadaan yang sebenarnya. Sedangkan berbasisi Islam yang dimaksudkan adalah menggunakan nilai-nilai Islam sebagai pijakan/landasan akhlaq atau moral dalam melaksanakan permainan bermain peran. Dalam situasi tersebut terdapat beberapa aturan yang perlu disepakati bersama sehingga para pemain berinteraksi dengan lingkungan belajar yang menyenangkan, sederhana, menjalankan nilai-nilai agama, dan aman mellalui kerjasama atau kompetisi dalam rangka pencapaian tujuan yang diharapkan.

Mengingat kecerdasaan emosional merupakan kecenderungan yang dapat dibentuk dari lingkungan pendidikan yang menyediakan satu metode pembelajaran yang menyesuaikan dengan kondis anak usia dini yaitu masa bermain, merupakan satu kondisi dimana anak memiliki kecenderungan menirukan segala sesuatu pada lingkungan sekitar. Dengan demikian dalam meningkatkan kecerdasan emosioan dibutuhkan satu pendekatan yang mendekati kondisi anak usia dini yang didasarkan pada nilai-nilai agama sebagai landasan pada metode bermain peran.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka diangkat menjadi sebuah judul penelitian, “model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis islam  untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia dini”.

 

METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Metode penelitian

86

Penelitian ini menggunakan metode penelitian dan pengembangan (research and development). Metode penelitian dan pengembangan merupakan metode yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2009: 407). Dasar pertimbangan penggunaan pendekatan ini adalah pendapat Borg dan Gall (1983: 775) bahwa strategi penelitian dan pengembangan efektif untuk mengembangkan dan memvalidasikan produk pendidikan. Produk yang dimaksud adalah model model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak usia dini.

Secara keseluruahan, tahap-atahap penelitian yang dilaksanakan pada penelitian ini adalah: (1) studi pendahuluan, (2) perancangan model hipotetik, (3) uji kelayakan, (4) revisi, (5) model hipotetik hasil revisi, (6) uji lapangan, (7) revisi, (8) model yang telah teruji.

Prosedur Pengembangan

Tahap I: Persiapan Pengembangan Model Bimbingan Belajar melalui Bermain Peran berbasis Islam

Kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap I adalah sebagai berikut:

a.       Studi evaluasi yaitu mencari informasi untuk pengembangan (memotret kondisi obyektif di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus ), yang meliputi:

(1)   Mendiskripsikan temuan tentang kebutuhan siswa PUAD dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa.

(2)   Mendiskripsikan temuan penelitian tentang kondisi objektif lingkungan belajar siswa di sekolah

(3)   Mendiskripsikan temuan tentang implementasi aktual bimbingan kelompok yang telah dilaksanakan di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus.

Sedangkan kegiatan yang dilakukan peneliti pada tahap kajian teori adalah :

b.      Mengkaji konseptual model bimbingan kelompok dan kecerdasan emosional

c.       Mengkaji hasil-hasil penelitian yang relevan dengan pengembangan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional.

d.      Mengkaji ketentuan formal pelaksanaan bimbingan kelompok di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus

Tahap II: Merancang Model Hipotetik Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam

Langkah-langkah yang dilakukan dalam tahap ini adalah sebagai berikut:

a.       Merancang model hipotetik bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan berdasarkan kajian teoritik, kondisi obyektif di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus, kajian hasil-hasil penelitian terdahulu yang relevan, dan ketentuan formal pelaksanaan bimbingan kelompok di PAUD.

b.      Analisis kesenjangan antara model hipotetik bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam dengan implementasi aktual dilapangan

c.       Mendsikripsikan kerangka kerja kolaboratif dengan konselor di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus dalam menguji kelayakan model hipotetik bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam.

Tahap III: Uji kelayakan Model Hipotetik Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam

Pada tahap ini, yang dilakukan peneliti adalah:

a.       Uji Kelayakan melalui validasi pakar dengan para ahli bimbingan dan konseling, dan para paktisi / guru serta teman sejawat di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus

b.      Mendiskripsikan hasil dari berbagai masukan dan saran untuk memperbaiki model

Tahap IV: Perbaikan Model Hipotetik (Teruji 1)

Berdasarkan hasil pelaksanaan uji kelayakan di atas, peneliti melakukan kegiatan:

a.       Mengevaluasi hasil uji-kelayakan model hipotetik.

b.      Memperbaiki model hipotetik secara kolaboratif.

c.       Tersusun model hipotetik bimbingan kelompok berbasis ajaran Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus   (model teruji I).

Tahap V: Uji-Lapangan (Uji-Empirik) Model Hipotetik

Pelaksanaan uji lapangan dilakukan peneliti bersama konselor, melalui langkah-langkah berikut ini:

a.       Menyusun rencana kegiatan uji-lapangan.

b.      Melaksanakan uji-lapangan.

c.       Mendsikripsikan hasil pelaksanaan uji-lapangan.

Tahap VI: Merancang Model “Akhir”  Bimbingan Belajar melalui bermain peran berbasis Islam (Teruji II)

Langkah-langkah yang ditempuh dalam tahapan ini adalah sebagai berikut:

a.       Mengevaluasi hasil uji-lapangan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam (teruji I).

b.      Memperbaiki model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam secara kolaboratif.

c.       Tersusun model “akhir” bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa (model teruji II).

Secara lebih operasional, proses pengembangan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam dapat diuraikan sebagai berikut. Tahap pertama, peneliti melakukan penelitian pendahuluan (studi evaluasi) yaitu mengidentifikasi pemenuhan kebutuhan siswa yang berorientasi pada peningkatan kecerdasan emosional, kondisi objektif lingkungan belajar siswa di sekolah, implementasi actual bimbingan kelompok di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus, untuk mendapatkan informasi tentang permasalahan dan kebutuhan siswa akan layanan bimbingan kelompok serta kekurangan dalam implementasi bimbingan kelompok diukur dari layanan bimbingan kelompok yang ideal (konseptual) diadakan kajian teoretis, kajian hasil-hasil penelitian terdahulu.

Tahap kedua, merancang model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam hipotetik. Bertolak dari hasil studi evaluasi, peneliti merancang model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang sifatnya masih hipotetik, model hipotetik dirancang berdasarkan kajian studi evaluasi, kajian teoretik, kajian hasil penelitian, dan kajian ketentuan formal. Peneliti melakukan analisis kesenjangan antara model hipotetik dengan implementasi aktuan di lapangan. Setelah itu kemudian peneliti mendiskripsikan kerangka kerja kolaboratif dalam menguji kelayakan model hipotetik.

Tahap ketiga, melakukan uji kelayakan model hipotetik. Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang masih bersifat hipotetik (model hipotetik), perlu diuji kelayakan dan uji lapangan.  Jika hasil pengujian menunjukkan ketidakpuasan, model dikembangkan kembali, dan jika hasil pengujian menunjukkan memuaskan, modek siap untuk diberlakukan/dioperasikan. Tujuan pengujian model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yaitu untuk menggali informasi dan bahan-bahan pertimbangan dalam merevisi model produk yang dikembangkan serta menentukan manfaat dan kesiapan model diberlakukan di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus. Pengujian model meliputi pengujian komponen, pengujian sub system dan pengujia secara keseluruhan dari sistimatisnya model. Komponen-komponen model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam diuji terlebih dahulu, kemudian diuji secara keseluruhan dari sistemnya. Pada tahap ini, model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam hipotetik diuji secara rasional (uji kelayakan) melalui uji ahli, uji praktisi dan uji lapangan terbatas yang dilakukan melalui diskusi.

Tahap keempat, perbaikan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam hipotetik. Berdasarkan uji kelayakan diperoleh balikan (feedback) yang diperlukan bagi peyempurnaan model. Perbaikan model dilakukan secara kolaboratif antara peneliti dengan konselor di sekolah. Setelah melalui proses tersebut barulah dapat dihasilkan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang telah teruji tahap I.

Tahap kelima, uji-lapangan (uji-empirik) model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam hipotetik. Uji-lapangan dilakukan melalui penelitian partisipatoris, yaitu dilakukan bersama konselor dalam menyusun rencara kegiatan uji-lapangan, melaksanakan uji lapangan dan mendeskripsikan hasil pelaksanaan uji-lapangan. Uji lapangan dilakukan di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus yang melibatkan 3 orang guru dan 7 siswa (anggota kelompok). Dari hasil terhadap proses pelaksanaan uji-lapangan, diperoleh balikan (feedback) yang diperlukan bagi penyempurnaan model.

Tahap keenam, merancang model “akhir” bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam. Berdasarkan balikan yang diperoleh melalui uji lapangan (uji-empirik) dilakukan evaluasi hasil uji-lapangan dan perbaikan model secara kolaboratif antara peneliti dan konselor di sekolah. Setelah melalui proses tersebut barulah dapat dihasilkan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam sebagai model yang telah teruji tahap II. Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dihasilkan ini diharapkan dapat diterapkan di PAUD IT Utsman bin Affan Kudus dan menunjukkan peningkatan kecerdasan emosional siswa dan peningkatkan kualitas layanan bantuan kepada siswa secara professional.

Penyempurnaan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam hasil penelitian ini selayaknya dilakukan terus dengan pengembangan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan. Dalam penelitian ini pengembangan hanya didasarkan kepada balikan yang diperoleh dari dua kali uji coba yaitu uji kelayakan (uji rasional) dan uji-lapangan (uji-empirik). Meskipun demikian balikan-balikan yang diperoleh diharapkan cukup berarti bagi perbaikan dan penyempurnaan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dihasilkan dari penelitian ini.

 

 

Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada dua data yang harus diungkap, yaitu kondisi awal pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran dengan kecerdasan emosional siswa. Untuk mengungkap kondisi awal pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran menggunakan wawancara, sedangkan untuk mengungkap kecerdasan emosional anak/siswa menggunakan observasi yang berbentuk chek list.

Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari dafatar cek masalah dalam pendekatan bermain peran berbasis Islam, adalah tentang kemampuan anak dalam meningkatkan kecerdasan emosional dengan nilai-nilai Islam sebagai landasan beremosional. Selanjutnya menganalisis daftar cek masalah tersebut.  Menurut Sutoyo (2009: 126-127) analisis daftar cek masalah ini meliputi analisis individual dan analisis kelompok

Selanjutnya untuk memperoleh gambaran tentang implikasinya dalam bimbingan, digunakan model analisis implikasi. Sedangkan untuk menganalisis dampak strategi pada setiap tindakan digunakan analisis deskriptif kualitatif.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Model bimbingan belajar melalui bermain peran yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah model bimbingan belajar melalui bermain peran yang anggotananya terdiri dari siswa yang memiliki masalah dalam kecerdasan emosional dan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai landasan bermain peran dan peningkatan kecerdasan emosional siswa. Asumsinya adalah permasalah siswa yang memiliki perkembangan emosional yang kurang baik dan pendekatan yang disesuaikan dengan masa perkembangan anak yaitu masa bermain dan meniru segala sesuatu yang ada pada lingkungan anak tersebut untuk meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

Permainan simulasi merupakan upaya penciptan lingkungan bagi para partisipan atau pemain yang tidak akan mengalaminya sebagaimana biasanya. Senada dengan pendapat tersebut, (Romlah, 2001:89), mengemukakan bahwa bermian peran adalah permainan yang dimaksudkan untuk mencerminkan situasi yang terdapat dalam kehidupan yang sebenarnya. Bermian peran merupakan pengganti situasi social dan pemandu sejumlah proses social tempat para pemain berpartisipasi. Adapun Stewart, et al., (1978: 89) menjelaskan bahwa bermain peran adalah suatu representasi operasional sifat-sifat situasi nyata yang menyediakan pembelajaran dengan lingkungan belajar yang relative aman, sederhana, dan saling berhubungan secara erat. Disamping itu, bermain peran sama seperti simulasi, merupakan model yang disederhanakan dari beberapa bentuk realitas.

Adapun permainan bermain peran merupakan kombinasi unsure-unsur permainan karakteristik model realitas yang di dalamnya para pemain bertindak di bawa seperangkat aturan untuk mencapai tujuan tertentu. Demikian pula Tim BP, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur (1999) mengemukakan bahwa permainan merupakan suatu aktivitas manusia yang menyenangkan, bersemangat, dan kompetitif dengan mentaati aturan-aturan yang sudah ditentukan sesuai dengan jenis permainnannya. Selanjutnya Tim tersebut mengemukakan bahwa bermain peran merupakan tiruan, perumpamaan, berandai-andai yang sudah lama dikenal baik di negara-negara maju maupun di Negara-negara berkembang. Sementara itu, Husen dan Postlethwaite (1988: 113) mengemukakan bahwa permainan bermain peran mamadukan karakteristik permainan (pemain, aturan, kompeisi/kerjasama) dengan karakteristik bermain peran (representasi realitas). Jika kehidupan nyata disimulasikan secara kompetitif atau kooperatif maka permainan bermain peran cenderung berkembang secara alamiah. Demikian pula simulasi permainan bermain peran merupakan pengalaman buatan yang mewakili pengalaman yang terjadi secara alamiah dalam kerja guru.

Model bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam  yang dikembangkan dalam penelitian ini dirumuskan dari kerangka kerja yang berlandaskan pada teori bimbingan belajar melalui bermain peran   dan didasarkan dari sumber yang kokoh yaitu al-Qur’an dan Hadits.

Dari kerangka kerja model bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam tersebut kemudian disusun model hipotetik bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam  untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Model hipotetik tersebut tersusun atas atas 7 komponen sebagai berikut: (1) Rasional, (2) Konsep Kunci, (3) Visi Misi bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam , (4) Tujuan Model Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam  (5) Isi Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam , (6) Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam , yang terdiri atas 9 aspek yaitu: (a) Pengertian Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam , (b) Peran Guru , (c) Fungsi Guru , (d) Kualifikasi Guru , (e) Prosedur Kerja Bimbingan belajar melalui bermain peran   Berbasis Islam , (f) Anggota Kelompok, (g) Sifat Topik, (h) Suasana Interaksi dan (i) Tahap-Tahap pelaksanaan Bimbingan belajar melalui bermain peran  . Dan komponen model yang terakhir, (7) Monitoring, evaluasi dan tindak lanjut. Adapun model hipotetik bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam  untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa

Berdasarkan sajian data hasil penelitian dan pengujian hipotesis penelitian di atas maka pada bagian di bawah ini disajikan pembahasan terhadap temuan hasil penelitian yang meliputi (1) kefektifan model bimbigan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus, (2) kefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus berdasarkan aspek kecerdasan emsoional siswa, (3) kefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT berdasarkan kelompok siswa, dan (4)  keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utaman bin Affan Kudus berdasarkan jenis kelamin.

Tujuan utama penelitian ini adalah menghasilakn model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang efektif bagi pengingkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan serrangkaian aktivitas pengembangan model bimbingan belajar yang diakhiri dengan merevisi hasil kegiatan eksperimen keefektifan model bimbinganbelajar melaluin bermain peran berbasis Islam tersebut dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus.

Hasil uji hipotesis pertama dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa model bimbingan belajar melaui bermain peran berbasis Islam efektif untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa yang dibuktikan dengan rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa sebelum mendapatkan perlakuan model  berbeda secara signifikan dari rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa. Dalam hal ini rerata skor perolehan  kecerdasan emosional siswa setelah mendaptkan perlakuan model  (62.8) lebih besar daripada rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa sebelum mendapatkan perlakuan model (55.7). terjadi peningktan kemampuan kecerdasan emosional dengan perolehan rarata (34.4)  dalam  hal ini menunjukkan , besar kebermaknaannya dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa di PGIT.

Dengan demikian hasil penelitian ini memiliki tingkat efektifitas dan  sekaligus signifikansi praktis. Oleh karena itu, tujuan utama penelitian tersebut dapat dicapai, yaitu diperolehnya model bimbinganbbelajar melalui bermain peran berbasis Islam yang efektif bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus. Ketercapaian tujuan tersebut disebabkan antara lain oelh (1) kepraktisan prosedur pelaksanaan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam sehingga memudahkan para guru membantu siswa meningkatkan kecerdasan emosional mereka, (2) kemudahan penggunaan panduan bagi pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam untuk peningkatan kecerdasan emosional siswa, (3) fleksibilitas pelaksanaan model bimbingan beajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa, (4) aktivitas dan bahan-bahan bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam memiliki tingakat kemiripan yang tinggi dengan kehidupan nyata siswa, dan (5) revisi model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam dan panduannya secara berkelanjutan muali dari perencanaan, uji kelayakan, uji keterlaksanaan, dan uji keefektifan sehingga model tersebut benar-benar dapat diterapkan bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus.

Dismaping itu, keefektifan model bimbingan belajr melaui bermain peran berbasis Islam bagi peningktan kecerdasan emosional siswa didukung oleh kenyataan bahwa dalam proses pelaksanaan bimbingan belajar memlalui  bermain peran berbasis Islam tersebut, para siswa (a) dilatih mengenali, mengelola, memotivasi, menganli emosi orang lain, dan berhubungan dengan orang lain secara intensif sebagaimana dikemukakkan oleh Goleman (2002), (b) aktif dan terarah dalam mempraktikkan semua aspek kecerdasan emosional mereka, (c) memperolah banyak model dan kesempatan yang luas untuk mempraktikkan semua aspek kecerdasan emosional mereka dalam suasana yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Demikian pula bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam tersebut mejadikan aktivitas para siswa menjadi pusat kegiatan dan menjadikan mereka belajar dari kegiatan tersebut (McCown & Roop,2002) sehingga memungkinkan mereka mengembangkan kecerdasan emosional mereka secara intensif.

Dengan demikian, model bimbingan belajr melalui bermain peran berbasis Islam untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa karena model tersebut menyediakan lingkungan belajar yang diperlukan pengembangan kecerdasan emosional tersebut sebagaimana dikemukakan Caruso dan Wolpe (2001) bahwa pengembangan ketrampilan kecerdasan emosional memerlukan komponen pengetahuan dan komponen pengalaman sebagaimana tercakup dalam model bimbingan belajar melalui bermain peran berbsis Islam. Kondisi tersebut memungkinkan siswa dapat mengembangkan semua aspek kecerdasan emosional mereka secara efektif, alamiah dan bermakna bagi hidup mereka.

Temuan penelitian di atas menunjukkan bahwa keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa PGTI Utsman bin Affan Kudus mendukung (1) DePorter & Hernacki (1992) yang menyatakan bahwa kognisi dan emosi anak berkembang melalui permainan, peniruan, dan cerita, dan (3) Elias, Hunter, & Kress (2001) yang menyatakan bahwa kecerdasan emosional terdiri atas seperangkat keterampilan dan kebanyakan keterampilan tersebut dapat ditingkatkan melalui kegiatan pendidikan,

Disamping itu, temuan penelitian tersebut memperkuat temuan penelitian sebelumlunya tentang kefektifan permainan simulasi peran dalam meningkatan berbagai asoek keoribadian subjek penelitian sebagaimana yang dilakukan Tim BP-7 Propinsi jawa Timur (1987), Flurentin (1993), dan Mansyur (2001).

Keceradasan emosional terdiri atas lima aspek yaitu mengenali emosi, mengelola, memotivasi, menganli emosi orang lain, dan berhubungan dengan orang lain(Goleman, 2002). Kelima aspek tersebut mempunyai fungsi yang berbeda satu dengan yang lain dalam pengungkapan kemampuan yang membentuk kecerdasan emosional. Kelima aspek tersebut tersusun dari proses psikologis yang paling dasar samapi proses psikologis yang lebih tinggi dan terintegrasi. Misalnya, aspek yang paling rendah berkaitan dengan kemampuan sederhana dalam mempersepsi dan mengekspresikan emosi. Adapun sebaliknya, aspek yang paling tinggi berkaitan dengan pengelolaan emosi secara reflektif dan penuh kesadaran yang melibatkan banyak aspek kepribadian yang lain.

Karena fungsi ysng berbeda dan tingkat kekomplekan yang berbeda pula dari kelima aspek tersebut maka dipridiksi berbeda pula keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam dalam meningkatkan kemampuan pada aspek-aspek tersebut. Dari pengujian hipotesis kedua ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara rerata skor perolehan kemampuan siswa untuk setiap aspek kecerdasan emosional tersebut. Dengan demikian model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam memiliki keefektifan yang berbeda bagi peningkatan masing-masing aspek kecerdasan emosional siswa PGIT Utsman bin Affan Kudus.

Dalam hal ini rerata sekor perolehan siswa dalam kemampuan (1) mengenali emosi diri adalah (13,4), (2) mengelola emosi diri adalah (32,1), (3) memotivasi emsoi diri adalah (8,6), (4)  menganli emosi orang lain adalah (17,12), dan (5) berhubungan dengan orang lain adalah (22,7). jika diurutkan dari yang terbesar maka urutan rerata skor perolehan siswa pada masing-masing kemampuan tersebut adalah (1) mengelola emosi diri adalah (32,1), (2) berhubungan dengan orang lain adalah (22,7)., (3) menganli emosi orang lain adalah (17,2), (4)  mengenali emosi diri adalah (13,4), dan (5) memotivasi emsoi diri adalah (8,6).

Dari data di atas, ditemukan ada perbedaan skor  perolehan kemampuan yang signifikan antara aspek mengelola emosi diri (32,1) dengan aspek mengnali emosi diri (13,4), dan aspek memotivasi emsoi diri adalah (8,6) sedangkan, pada aspek berhubungan dengan orang lain adalah (22,7) dan rerata aspek menganli emosi orang lain adalah (17,2).

Hasil analisis lanjutan tersebut menunjukkan bahwa model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan pemahaman emosi daripada kemampuan pengelolaan emosi. Jika diurutkan tingkat keefektifan pengaruh model tersebut terhadap peningkatan kemampuan siswa pada masing-masing aspek kecerdasan emosional maka secara berturut-turut adalah sebagai berikut.(1) aspek mengelola emosi diri (2)  berhubungan dengan orang lain (3)  menganli emosi orang lain (4)  mengenali emosi diri adalah (5)  memotivasi emsoi diri.

Dari pengalaman guru yang menjadi fasilitator bimbingan belajar melalui bermain peran ditemukan bahwa masing-masing dari kelima aspek kecerdasan emosional siswa meningkat semua meskipun agak sulit membedakan tingkat perbedaan peningkatan antara kemampuan pada kelima aspek kecerdasan emosional tersebut. Namun dari pelaksanaan diskusi dan permainan peran dalam kerangka peningkatan kecerdasan emosioanal siswa ditemukan bahwa kemampuan yang paling mudah diidentifikasi peningkatannya adalah kemampuan siswa dalam menunjukkan pemahaman terhadap mengelola emosi yang dialaminya dan dialami orang lain. Hal ini terlihat dari cara siswa memberikan penjelasan tentang emosi baik yang dialami dirinya sendiri maupun yang dialami orang lain. Disamping itu, diakui guru bahwa kemampuan memotivasi emosi adalah kemampuan yang paling sulit dirasakan siswa karena dalam keiatan permainan peran dan refleksi sringkali dikeluhkan tentang cara-cara pengatasan masalah yang berkaitan dengan emosinya baik untuk dirinya mampu untuk teman-temannya.

Mengapa model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis islam ini lebih efektif digunakan untuk meningkatkan kamampuan pemahaman emosi siswa daripada kemampuan pengelolaan emosi. Hal ini terjadi antara lain karena (a) kemampuan pengelolaan emosi lebih sulit dan lebih kompleks daripada kemampuan memahami emosi dan (b) kamampuan pengelolaan emosi lebih banyak membutuhkan waktu dan keterampilan daripada kamampuan memahami emosi. Di sisi lain, kemampuan pemahaman emosi lebih mudah dikembangkan daripada kemampuan pengelolaan emosi karena (a) kamampuan tersebut lebih sesuai dengan kebiasaan sehari-hari para siswa dalam kegiatan pembelajaran yang lebih banyak menggunakan kamampuan intelektual daripada kemampuan emosional mereka dan (b) hasil penelitian Mayer, Solovey, dan Caruzo (2004) menunjukkan bahwa kemampuan pemahaman emosi adalah aspek kecerdasan emosional yang paling tinggi korelasinya dengan kecerdasan intelektual sedangkan aspek-aspek kecerdasan emosional yang lainnya lebih rendah korelasinya.

Salah satu Kondisi Umum  pokok yang mempengaruhi perilaku individu adalah jenis kelamin. Hal ini terjadi karena jenis kelamin tersebut akan mempengaruhi bagaimana lingkungannya memperlakukan individu dan demikian pula bagaimana individu tersebut merespons harapan lingkungannya. Interaksi diri dan lingkungan yang berbeda tersebut yang menyebabkan siswa laki-laki berbeda dari siswa perempuan dalam mereaksi lingkungan dan dari mereka sendiri. Oleh karena itu maka model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan ini akan mempunyai keefektifan pengaruh yang berbeda kapada siswa berdasarkan jenis kelamin mereka.

Berdasakan hasil perolehan  rerata kecerdasan emosional siswa laki-laki dan perempuan di temukan bahwa skor perolehan siswa laki-laki ( 0.1%) dan skor perolehan siswa perempuan (17.3%) hal ini berarti rerata skor perolehan kecerdasan emosional siswa menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan di tinjau dari jenis kelaminnya. Rerata perolehan skor kecerdasan emosional siswa laki-laki 0,1% sedangkan rerata perolehan skor kecerdasan emosional siswa perempuan 17,3% dengan demikian model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam memiliki keefektifan lebih pada siswa perempuan disbanding dengan siswa laki-laki  bagi peningkatan kecerdasan emosional siswa kelompok B PG IT Utsman bin Affan Kudus bagi anak laki-laki maupun perempuan.

Meskipun penelitian sebelumnya menunjukkan adanya perbedaan kecerdasan emosional berdasarkan jender (Brackett, Mayer, dan Werner,2004) perbedaan tersebut dapat dieliminasi karena model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan tersebut mengakomodasi kepentingan jender yang relative sama. Hal ini dapat dilihat dari (1) segi prinsip pelaksanaannya yang menekankan pada pelayanan bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam kepada semua siswa tanpa memandang latar belakan mereka termasuk jender, (2) pemeran kasus dalam berberan dan scenario permainan bermain peran berbasis Islam berasal dari kedua jender secara seimbang, (3) kasus yang ditampilkan dalam beberan dan scenario bermain peran berbasis Islam bersifat umum yang dapat dialami oleh siswa dari kedua jender, dan (4) fasilitasi guru dalam proses permainan bermain peran berbasis Islam memperhatikan kepentingan kedua jender.

Dari pengalamn guru sbagai fasilitator permainan bermain peran berbasis Islam, ditemukan bahwa prosedur pelaksanaan peningkatan kecerdasan emosional siswa dengan model bimbingan belajar melalui  bermain peran berbasis Islam memberikan akses yang sama bagi siswa dari kedua jender untuk aktif dan terlibat permainan bermain peran berbasis Islam, refleksi bermain peran berbasis Islam, dan pengahiran sehingga para siswa dari kedua jenis jender dapat berprestasi secara optimal. Kondisi tersebut memungkinkan terlaksananya pelaksanaan terhadap permainan bermain peran berbasis Islam secara produktif bagi peningkatan kecerdasan emosional bagi siswa dari kedua jenis jender tersebut.

Temuan bahwa ada perbedaan dalam peningkatan kecerdasan emosional siswa laki-laki dan siswa perempuan setelah penerapan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam akan tetapi keduanya menyatakan terjadi peningkatan kemampuan dalam kecerdasan emosional, hal tersebut memperkuat hasil penelitian  (a) Gage & Berliner (1991) yang menemukan bahwa tidak ada bukti yang meyakinkan tentang perbedaan berbagai bidang kemampuan anak laki-laki dan permpuan sehingga guru tidak perlu membedakan perlakuan terhadap siswa laki-laki dan perempuan, (b) Prawitasari (1995) yang menemuakan bahwa yang menemukan bahwa orang laki-laki dan perempuan di Indonesia tidak berbeda dalam hal kemampuan mengaritkan emosi yang diekspresikan orang lain. Hal ini semua senada dengan penjelasan Santrock (1994) yang menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan dalam kebanyakan pengalaman emosional. Kedua kelompok tersebut sama-sama mengalami rasa cinta, cemas, kasih saying, marah saat dihina, sedih saat putus hubungan cinta, dan malu saat berbuat kesalahan di muka bumi.

 

SIMPULAN

  1. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa secara global, siswa memiliki kemampuan (67.5%) pengenalan emosi diri, (48.1 %) pengelolaan emosi diri, (62.4%) memotivasi diri, (57.7%) mengenali emosi orang lain, dan (42.8%) membina hubungan baik dengan orang lain. Sedangkan pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran telah dilaksanakan oleh guru namun belum maksimal dan frekuensi pelaksanaanya jarang serta bersifat insidental.
  2. Rumusan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islami yang dikembangkan dalam penelitian ini disusun dengan berdasarkan pada dasar yang kokoh yaitu merujuk pada al-Qur’an dan hadist sehingga memiliki spesifikasi yang berbeda dari model bimbingan kelompok yang sudah ada di sekolah. Model yang tersusun, terdiri dari 7 komponen (1) Rasional, (2) Konsep Kunci, (3) Visi Misi bimbingan kelompok berbasis Islami, (4) Tujuan Model Bimbingan Kelompok Berbasis Islami (5) Isi Bimbingan Kelompok Berbasis Islami, (6) Bimbingan Kelompok Berbasis Islami dan (7) Monitoring, evaluasi dan tindak lanjut.

Pelaksanaan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dilaksanakan di PGIT Utsman bin Affan Kudus dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada hasil wawancara dengan guru dalam beberapa aspek, yaitu: (a) keterlaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran , (b) Tujuan pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran , (c) Komponen bimbingan belajar melalui bermain peran , (d) perencanaan bimbingan belajar melalui bermain peran , (e) Tahap-tahap pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran , (f) Evaluasi dan tindak lanjut serta (g) Faktor penunjang dan hambatan pelaksanaan bimbingan belajar melalui bermain peran.

  1. Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam yang dikembangkan dalam penelitian ini terbukti efektif dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Hal ini dibuktikan dari hasil uji keterlaksanaan dan uji keefektifan model bimbingan belajar melalui bermain peran berasis Islam. untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa, menunjukkan bahwa rerata skor rerata pretes  jika dibanding kan dengan perolehan rerata sekor posttes menunujkkan adanya peningkatan. Rerata skor perolahan siswa sebelum mendapatkan perlakuan model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam adalah 55.7 sedangkan rerata perolehan skor kecerdasan emosional siswa setelah mendapatkan perlakuan model adalah 62.8, jika di lihat besarannya skor perolehan rerata siswa dari sebelum mendapatkan perlakuan dan setelah mendapatkan perlakuan menunjukkan peningkatan kemampuan kecerdasan emosional sebesar 34.4. Dengan demikian model bimbingan belajar melalui bermain peran   berbasis Islam bisa terlaksanan dan efektif untuk peningkatan kecerdasan emosional siswa PGIT.

SARAN

  1. 1.      Bagi guru dan sekolah

Proses dan hasil penelitian pengembangan ini memberi kontribusi teoretis berupa input konseptual, metodologis, dan findings berkaitan dengan perluasan khasanah pengetahuan tentang konsep dan praktik bimbingan belajar melalui bermain peran yang dapat dimanfaatkan oleh pebelajar dan peneliti lain sebagai salah satu sumber acuan referensi dalam mengkajikembangkan produk lain yang sewarna dengan issu-issu pelaksanaan layanan BK khususnya bimbingan belajar melalui bermain peran di sekolah.

Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam ini dapat digunakan guru sebagai salah satu model layanan dalam membantu siswa PGIT Utsman bin Affan meningkatkan kecerdasan emosional sehingga pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling lebih sistematis dan efektif. Model bimbingan ini dapat juga dijadikan sebagai salah satu alternatif bagi guru di PGIT dalam memaksimalkan pelaksanaan layanan bimbingan belajar melalui bermain peran di sekolah. Guru perlu memperhatikan kondisi psikologis anak didiknya dengan baik, agar perkembangan siswa khususnya anak usia dini dapat berlangsung dengan baik pula, kecerdasan emosional menjadi salah satu aspek penting yang harus diperhatian dan ditingkatkan.

  1. 2.      Bagi pengembang model selanjutnya

Model bimbingan belajar melalui bermain peran berbasis Islam ini masih terbuka bagi peneliti selanjutnya untuk diujikembangkan lebih lanjut dengan memperluas komponen model, mengakomodir aspek substansi layanan bimbingan belajar, mengungkap hambatan-hambatan penyusunan model dan melibatkan penilaian eksternal dan lain-lain demi menyempurnakan model.

 

DAFTAR PUSTAKA

Borg, W.R.& Gall, M.D.1983 Educational Reasearch: An Introduction. New York:Longman.Inc

Caruso, D.R. & Wolpe, C.J., 2001. Emotional Intellegence at the Workplace. Dalam ciarrochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, D.J. (Eds.) Emotional Intelligence in Everyday Life. Philadelphia, Pennsylvania: Psychology Press.

Chaplin, J. P. 2009, Dictionary of Psychology, (Terjemah. Kartini Kartono) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Departemen Agama RI. 2001. Al-Qur’an dan Terjemah (Transliterasi Arab-Latin). Semarang: CV. Ass-Syifa

DePorter, B., & Hernacki, M.  1992. Quantum Learning: Unleashing the Genius in You. New York: Bantam Doubleday Dell Publishing Group, Inc.

Elias, M.J., Hunter, E.,  Kress,  J.I., 2001. Emotional Inellegence and Education. Dalam Ciarrochi, J., Forgas, J.P., & Mayer, J.D. (eds). Emotional Intelligence in Everyday Life. Philadelphia, Pennsylvania: Psychology Press.

Flurentin, E., 1993. Permainan Simulasi dan Bimbingan Karir. Ilmu pendidikan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Gage, N.L., & Berliner, D.C. 1991. Educational Psychology. Boston: Houghton Mifflin Company.

Goleman, D. 2002. Emotional Intelligence: Kecedasan Emosional. Penerjemah Hemaya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Hafidz, E., 2010.   Teknik Pengajaran dan Pembelajaran  : bobezani.tripod.com. http://bobezani.tripod.com/2010/03/teknikpengajarandan embelajaran.htm(diunduh 20 Oktober 2003)

Hurlock. E. B. 2006. Devolopmental Psycology: A Life Span Approach, Fifth Edition, Mc Graw Hill.inc, (Terjemah. Istiwidayanti dan Soedjarwa) Yogjakata: Erlangga.

Husen, T.,  & Postlethwaite, T.N.,  1988. The Intenaional Encyclopedia o Educaion. OxFord: Pergamon Press.

Komara, E., 2009. Model Bermain Peran Dalam Pembelajaran, Jakarta: Penerbit Karunika.  

Manorom, K., & Pollock, Z., 2006. Role Play as a Teaching Method: A Practical Guide : jaournal of Role Playing as a Teaching Method. 84,5-10. (diunduh 9 Desember 2006)

 

Mansyur, J., 2001. Pengembangan Paket Permainan sebagai media layanan konsultasi bagi orang tua siswa, Tesis Maiser pada FPS IKIP MALANG: tidak diterbitkan

Mayer J.D., Salovey, P., & Caruso, D.R. 2004. Model of Emotional Intelligence, Theory, Findings and Implications, Psychological Inquiry, Vol 15 No. 3. (pp. 197-215). Lawrence Erlbaum Associates, Inc.

McCown, R.R., & Roop, P. 2002. Education Psychology and Classroom Practices: A Partnership. Toronto: Allyn & Bacon.

Prawitasari, J.E., Martani, W., Adiyatni, M.G.,  1995. Konsep Emosional Orang Indonesia: Pengungkapan dan Pengertian Emosi Melalui Komunikasi Non Verbal di Masyarakat yang Berbeda Latar Budaya. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.

Romlah, T., 2001. Teori dan Prakik Bimbingan Kelompok. Malang: Penerbit: UM

Santrock, J.W. 1994. Psychology. Madison, Wisconsin: WCB. Brown & Benchmark.

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta.

Sutoyo, Anwar, 2009, Pemahaman Individu, Observasi, Checklist, kuesioner & Sosiometri, Semarang: Widya Karya.

Stewart, N.R., 1978. Systematic Counseling. Englewood Cliffs, N.J: Prentice-Hall,Inc.

Tim- BP7 Propinsi Dati I Jawa Timur, 1987. Permainan Simulasi: Kelahiran dan Perkembangannya di Jawa Timur. Jakata: alai Pustaka

 

 

 

 





PSIKOLOGI EKSISTEMSIAL ROLLO MAY

2 06 2010

I.BIOGRAFI
Rollo May lahir April 21, 1909, di Ada, Ohio. kecilnya tidak terlalu menyenangkan: Orang tuanya tidak akur dan akhirnya bercerai, dan adiknya mengalami gangguan psikotik.
Setelah bertugas di Michigan State singkat (ia diminta untuk meninggalkan karena keterlibatannya dengan majalah mahasiswa radikal), dia menghadiri Oberlin College di Ohio, di mana ia menerima gelar sarjana nya.
Setelah lulus, dia pergi ke Yunani, di mana ia mengajar bahasa Inggris di Anatolia College selama tiga tahun. Selama periode ini, ia juga menghabiskan waktu sebagai seniman keliling dan bahkan belajar singkat dengan Alfred Adler.
Ketika ia kembali ke AS, ia masuk Seminari Teologi Union dan menjadi berteman dengan salah seorang guru, Paul Tillich, teolog eksistensialis, yang akan memiliki dampak besar pada pemikirannya. Mei menerima BD-nya pada tahun 1938. Mei menderita TBC, dan harus menghabiskan tiga tahun di sanatorium. Ini mungkin titik balik hidupnya. Sementara ia menghadapi kemungkinan kematian, ia juga mengisi jam kosong dengan membaca. Di antara literatur yang dia baca adalah tulisan-tulisan Soren Kierkegaard, penulis religius Denmark yang banyak terinspirasi dari gerakan eksistensial, dan memberikan inspirasi bagi teori May.
Dia melanjutkan studi psikoanalisis di White Institute, di mana ia bertemu orang-orang seperti Harry Stack Sullivan dan Erich Fromm. Dan akhirnya, ia pergi ke Universitas Columbia di New York, di mana pada 1949 ia menerima PhD pertama dalam psikologi klinis bahwa lembaga yang pernah diberikan.
Setelah menerima PhD, ia melanjutkan mengajar di berbagai sekolah unggulan. Pada 1958, ia menyunting, dengan Ernest Angel dan Henri Ellenberger, Keberadaan buku, yang memperkenalkan psikologi eksistensial ke Amerika Serikat. Dia menghabiskan tahun-tahun terakhir hidupnya di Tiburon, California, sampai ia meninggal pada Oktober 1994.

tulisan selengkapnya





CITA RASA SUKSES/BERHASIL

2 05 2010

Dalam setiap usaha seseorang yang menjadi tujuan terakhir adalah kesuksesan/ berhasil secara positif, bila usaha mencari ilmu titik puncak keberhasilan adalah lulus tepat waktu dengan prestasi yang sangat baik atau memuaskan, jika dalam hal perdagangan tujuan utama adalah meningkatkan penjualan sampai ribuan persen dari penjualan sebelumnya, demikianpun dalam hal lainnya akan mempunyai ukuran atau parameter keberhasilan yang telah ditentukan sebelumnya yang akan menjadi target dari tujuan keberhasilan tersebut.

Untuk mencapai keberhasilan harus didahului dengan gagasan dari pemikiran yang bertujuan secara asai untuk menjadi orang yang berhasil, sugesti atau kekuatann niat yang dalam (Azzam) merupakan setengah dari keberhasilan dari setiap keberhasilan yang ingin dicapai dalam setiap usaha apapun. Read the rest of this entry »





RASIONAL EMOTIF

5 04 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGANTAR
Teori rasional emaotif (TRE) memisahkan diri dari beberapa sistem yang dipaparkan dalam buku ini yaitu pendekatan psikoanalik, terpusat pada pribadi, dan gestalt. Saya telah menyeleksi untuk dimasukkan didalamnya oleh karena ini merupakan perspektif yang menantang terhadap banyak dari isu dasar dari onseling dan psikoterapi. TRE banya kesamaannya dari terapi yang berorientasi pada kognisi, perilaku , dan perbuatan, dalam arti bahwa TRE menekankan pada berfikir, memperkirakan, mengambil keputusan, menganalisis dan berbuat.
TRE sangat didaktis, sangat direktif, dan memiliki kepedulian yang seimbng antara pikiran dan perasaan. TRE berdasarkan pada asumsi bahwa kognisi, emosi, dan perilaku berinteraksi secara signifikan dan memiliki hubungan sebab akibat yang timbal balik. Melalui perkembangannya TRE terus menerus menekankan kepada tiga modalitas itu serta interaksinya, dan oleh karenanya memberinya ciri sebagai yang menggunakan pendekatan elektik yang multi modal (Ellis, 1979a, 1979c, 1979e, 1987a, 1989). Read the rest of this entry »





TEORI PSIKOANALITIK CARL GUSTAV JUNG

5 04 2010

TEORI PSIKOANALITIK
CARL GUSTAV JUNG
I. SEJARAH HIDUP
Swiss adalah sebuah negara dengan seribu gunung yang puncaknya senantiasa diselimuti salju, dibalut oleh kesunyian lembah-lembah di sekitarnya, dan dihiasi dengan kebeningan biru air danau yang bertebaran mengelilinginya. Kekayaan budaya dan bahasanya juga tercermin dari negera-negara yang mengelilinginya: di utara bersebelahan Jerman, di barat dan selatan bertetangga dengan Perancis dan Italia. Di perbatasan timur laut, di lereng pegunungan Alpen, di pinggiran danau Constance adalah sebuah desa kecil bernama Kesswil. Di sinilah pada 26 Juli 1875, Carl Gustav Jung dilahirkan Read the rest of this entry »





TEORI MINNESOTA PENYESUAIAN KERJA René V. Dawis

22 03 2010

BAB I
TEORI MINNESOTA
PENYESUAIAN KERJA
René V. Dawis

Teori Penyesuaian Kerja (TWA; Dawis & Lofquist, 1984) tumbuh dari
University of Minnesota’s Penyesuaian kerja pada proyek, 20 tahun federal
program penelitian yang didanai untuk mempelajari bagaimana rehabilitasi kejuruan klien untuk bekerja. Penelitian ini, dilakukan pada 1960-an dan 1970-an, dilaporkan di 30 buletin dari Minnesota Studi di seri Rehabilitasi Kejuruan (Industri Re-undangan Pusat, University of Minnesota-Minneapolis) dan di beberapa artikel jurnal, buku bab, dan buku. Sejak pertengahan 1970-an, Penyesuaian Kerja Project telah terus sebagai Kejuruan Program Penelitian Psikologi De-partment Psikologi, University of Minnesota. Ketika itu dimulai, Kerja Proyek Penyesuaian mencoba luas, pendekatan mengukur luas terhadap masalah penelitian (Scott, Dawis, Inggris, & Lofquist, 1960). Hal mengumpulkan data tentang sejumlah besar individu dan di sejumlah besar variabel, seperti kepuasan kerja, sikap kerja, penilaian kinerja, riwayat pekerjaan, pendidikan dan pelatihan pengalaman, bakat, kebutuhan, minat, dan sifat. Segera menjadi jelas bahwa massa yang besar seperti data dapat dianalisis dengan cara-cara tanpa akhir dan bahwa kerangka teoretis diperlukan untuk mempersempit dan memberikan fokus untuk analisis data. TWA ini dikembangkan untuk tujuan ini (Dawis, Inggris, & Lofquist, 1964). Selanjutnya, TWA ditemukan berguna dalam pro-viding arah untuk penelitian berikutnya. Pada gilirannya, penelitian berikutnya mengarah ke revi-sions dan penambahan TWA (Dawis & Lofquist, 1984; Dawis, Lofquist, & Weiss, 1968; Lofquist & Dawis, 1969). Untuk informasi lebih tentang sejarah TWA, lihat Dawis (1996, hal. 75 -80). Sebagaimana sejarah ini menunjukkan, banyak orang, termasuk beberapa yang namanya tidak disebutkan di sini, memberikan kontribusi bagi pengembanganTWA.

FONDASI TEORI
Teori penyesuaian kerja termasuk kelas teori yang dikenal sebagai teori P E (Dawis, 2000), yang tentang orang (P) dalam suatu lingkungan (E) dan pokok
kesesuaian antara, dan interaksi, P dan E. Ada berbagai Es (fisik, sekolah, kerja, keluarga, rumah, sosial, atau bahkan satu orang lain); karenanya, PE behooves teoretisi pada awal untuk mengidentifikasi dan mendefinisikan E yang mereka rujuk. Seperti namanya menunjukkan, TWA adalah tentang lingkungan kerja.

Ada P variabel dan E variabel, dan ini sering digunakan untuk menjelaskan perilaku perilaku atau hasil. Namun, proposisi dasar teori PE adalah bahwa penjelasan untuk perilaku atau hasil perilaku tidak terletak begitu banyak dengan P atau variabel E, melainkan, dengan kombinasi PE. Bahkan jika P dan E variabel berkontribusi pada penjelasan, ini adalah kombinasi PE tertentu yang akan terbaik dataran mantan perilaku tertentu atau perilaku hasil.

Teori PE menggunakan dua konstruksi untuk menunjukkan kombinasi PE: cocok dan di-teraction. Fit mengacu pada tingkat yang sesuai dengan karakteristik P E karakteristik dinilai di sepadan (paralel atau pencocokan) dimensi-sions. Sebagai contoh, pekerja yang berbeda (P) set berbeda keterampilan, dan berbeda-ent pekerjaan (E) set berbeda membutuhkan keterampilan. Cocok berarti bahwa beberapa pekerja memiliki seperangkat keterampilan yang membutuhkan pekerjaan tapi tidak pekerja lain, atau beberapa pekerjaan membutuhkan seperangkat keterampilan yang seorang pekerja hanya memiliki pekerjaan lain tidak.

Interaksi mengacu pada P dan E tindakan dan reaksi satu sama lain dalam saling memberi dan menerima. Pekerja dan lingkungan kerja yang tidak statis, tidak berubah, entitas, tetapi, mereka dapat dan memang berubah. Sebagai contoh, para pekerja tidak puas akan “melakukan sesuatu” untuk mengubah situasi kerja tidak memuaskan, seperti mengeluh untuk mengelola-ment atau bekerja lebih keras untuk “membuktikan” kepada manajemen bahwa mereka layak lebih baik memperlakukan-ment. Manajemen mungkin menanggapi keluhan negatif oleh pemutusan hubungan kerja atau menanggapi secara positif dengan meningkatkan gaji pekerja. TWA adalah PE cocok baik teori dan teori interaksi PE.
toeri Penyesuaian kerja tumbuh dari tradisi perbedaan individu dalam psikologi (Dawis, 1992). Psikologi perbedaan individu adalah tentang variabilitas manusia, bagaimana orang-orang berbeda satu sama lain, sebagai kontras dengan psikologi umum, yang adalah tentang bagaimana orang berperilaku rata-rata. Variabilitas manusia banyak cara untuk menggambarkan individualitas manusia. Individualitas seperti itu dapat mengakibatkan konsekuensi ferent béda-untuk orang yang berbeda dalam situasi yang sama. Dalam mempelajari fenomena ini, psikologi perbedaan individual berfokus pada variabel-variabel yang stabil dari waktu ke waktu, variabel kelas yang dikenal sebagai ciri-ciri (sebagai kontras dengan negara, kelas variabel yang berfluktuasi dari waktu ke waktu). TWA mengadopsi konsep sifat deskripsi dari P. Lebih jauh lagi, penelitian di TWA telah menggunakan metode dari psikolog-perbedaan individu yang menekankan kuantifikasi (pengukuran psikometrik khususnya stabil perbedaan individual) dan statistik untuk memperhitungkan untuk varians (perbedaan individual), terutama melalui penggunaan metode korelasi (Tinsley & Brown, 2000).

Ketika TWA ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1964, itu disajikan sebagai serangkaian sembilan proposisi formal yang menangkap substansi penelitian yang dilakukan pada tanggal itu, tetapi juga memberikan arah untuk riset masa depan. Penelitian selanjutnya disarankan untuk TWA proposisi baru. Delapan ditambahkan pada tahun 1984. Daftar dari 17 TWA proposisi ditunjukkan pada Tabel 1.1, yang disajikan pada halaman 20-21 bab ini.

Teori penyesuaian kerja dimulai sebagai teori cocok PE. Sebagai TWA adalah kembali dan diperluas, ini berkembang menjadi sebuah teori interaksi-proses termasuk model yang cocok (atau prediksi) model. Sebelum kedua model dijelaskan, konsep-konsep dasar yang didasarkan TWA yang pertama kali disajikan dan dibahas.

KONSEP DASAR
Sebagai teori psikologis, TWA fokus adalah pada P dan P perilaku. Namun, tidak P ada atau berperilaku dalam ruang hampa, melainkan, P selalu ada dan berperilaku E. Setiap teori tentang P harus menjadi teori tentang P-in-an-E.
Teori penyesuaian kerja diawali dengan asumsi bahwa (1) sebagai liv-ing organisme, P memiliki persyaratan yang harus dipenuhi, banyak atau bahkan sebagian besar dari mereka melalui E (2) P memiliki kemampuan yang memungkinkannya untuk memenuhi persyaratan; dan (3) banyak perilaku P dalam berinteraksi dengan E adalah tentang pertemuan kembali.
Di antara yang paling penting dari persyaratan P kebutuhan: kebutuhan biologis yang harus dilakukan dengan P kelangsungan hidup dan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan P kesejahteraan. Kebutuhan yang diduga untuk mengembangkan dari materi genetik diwarisi oleh P, dikondisikan oleh banyak Es yang terpapar P adalah, hingga beberapa negara bagian relativitas-tive stabilitas tercapai, biasanya di usia dewasa. Banyak kebutuhan P di masa dewasa dapat dipenuhi di tempat kerja. Dalam TWA, E perhatian adalah lingkungan kerja, yang di dunia kontemporer kita adalah organisasi kerja secara efektif. TWA, kemudian, adalah tentang P sebagai pekerja dan karyawan, dan E sebagai pekerjaan lingkungan dan organisasi kerja. Sebagai prinsip operasi, TWA konsep P dan E sebagai paralel dan comple-mentary. Demikian, TWA mengasumsikan bahwa E (secara paralel dengan P) juga memiliki persyaratan yang harus dipenuhi dan kemampuan yang memungkinkannya untuk memenuhi persyaratan. Com-plementarily, beberapa persyaratan E dapat dipenuhi oleh P dengan cara yang sama bahwa beberapa persyaratan P dapat dipenuhi oleh E. Dengan demikian, dalam pekerjaan, P dan E datang bersama-sama dapat-menyebabkan setiap memiliki beberapa persyaratan bahwa pihak yang lain dapat memenuhi .
Pemenuhan persyaratan mereka menghasilkan kepuasan bagi P dan E. Untuk E differenti-makan kepuasan dari kepuasan P, TWA istilah E kepuasan dengan P sebagai kepuasan P, pemesanan istilah P kepuasan untuk menunjukkan kepuasan dengan E. Kedua konstruksi, kepuasan dan kepuasan, menyiratkan dan memperpanjang negatif mereka, ketidakpuasan dan ketidakpuasan. Dengan demikian, pada tingkat dikotomis, ada empat kemungkinan negara bagian di mana P dapat berupa: puas dan memuaskan, puas, tetapi tidak memuaskan, tidak puas tapi memuaskan, atau tidak puas dan tidak memuaskan. TWA mengharapkan negara bagian pertama yang kondusif untuk perilaku yang mempertahankan PE di-teraction (pemeliharaan perilaku) dan tiga negara lain untuk hasil akhirnya di-havior akan mengubah situasi (penyesuaian perilaku). Pada ekstrem, interaksi PE dapat dihentikan (P baik berhenti atau dipecat). Tapi selama tolera-P adalah Bly puas dan memuaskan, P tetap, dan dipertahankan oleh, E. Lamanya waktu P tetap di E adalah disebut kepemilikan di TWA. Ketiga hasil-kepuasan, satis-factoriness, dan masa jabatan P dalam pekerjaan tertentu E-merupakan indikator dasar-iklan kerja justment, menurut TWA.
Seperti disebutkan, P memiliki kemampuan, beberapa di antaranya dapat digunakan untuk memuaskan E quirements ulang (atau beberapa dari mereka). P kemampuan yang paling penting bagi P E keterampilan. Keterampilan kerja diambil dari dasar keterampilan manusia: kognitif, afektif, motorik, fisik, dan indra-persepsi. Seperti kebutuhan, keterampilan dasar yang diduga berasal dari warisan P bahan genetik dan dibentuk melalui pembelajaran (pengalaman dan melatih-ing) melalui pemaparan ke berbagai Es. Meskipun keterampilan dasar dapat mencapai stabilitas relatif (biasanya di masa dewasa), P terus untuk memperoleh keterampilan baru (seperti keterampilan kerja) de-dikembangkan dari keterampilan dasar seluruh kehidupan.
Di tempat kerja, E persyaratan dari P adalah tentang mendapatkan kerja yang dilakukan dan mempertahankan atau memperbaiki organisasi.
Salah satu cara untuk mendeskripsikan E persyaratan adalah mantan tekan mereka dalam hal keterampilan E persyaratan untuk P, himpunan P keterampilan harus memiliki untuk mendapatkan pekerjaan dan untuk memelihara atau meningkatkan organisasi. E, demikian pula, memiliki kemampuan, beberapa yang memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan P (atau beberapa dari mereka). Orang-orang yang paling penting bagi P adalah E penguatan kemampuan, yaitu, E kemampuan untuk memberikan reinforcers (meminjam membangun dari perilaku psikologi) untuk memenuhi kebutuhan P. Beberapa contoh karya E reinforcers yang membayar, prestise, dan kondisi kerja. Salah satu cara untuk menggambarkan kebutuhan P adalah dalam hal bahwa P reinforcers memerlukan E. Artinya, kebutuhan dapat dipandang sebagai persyaratan reinforcer.
Demikian, TWA menggunakan dua konstruksi untuk menggambarkan P: kebutuhan (reinforcer persyaratan) dan keterampilan (kemampuan respon). Dua pelengkap konstruksi digunakan untuk de-ahli Taurat E: reinforcers (penguatan kapabilitas) dan keahlian persyaratan (persyaratan respon). Artinya, P dan E konstruksi sejajar dan saling melengkapi. Membangun pusat di TWA adalah PE korespondensi. P-E korespondensi memiliki dua makna dalam TWA. Yang pertama adalah kesesuaian antara P dan E sebagai dipastikan di surate commen-variabel. Ini adalah makna yang digunakan dalam model prediksi TWA itu, di mana P kepuasan kepuasan dan masing-masing diprediksi dari korespondensi PE variabel. Dalam setiap kasus, variabel korespondensi PE mencerminkan sejauh mana masing-masing memenuhi persyaratan yang lain.
Makna kedua adalah bahwa PE korespondensi dari coresponsiveness, mu-tual menanggapi dari P ke E dan E ke P, yaitu interaksi dari P dan E. Ini adalah makna yang digunakan dalam proses TWA model.

DASAR DARI TEORI MODEL PENYESUAIAN
Dalam TWA prediktif model, P kepuasan dan kepuasan adalah tergantung variabel yang diperkirakan dari P E korespondensi dua variabel:
1. Surat-menyurat E’s reinforcers untuk kebutuhan P (reinforcer memerlukan –
kasih) memprediksi P kepuasan.
2. Surat-menyurat keterampilan P E persyaratan keterampilan memprediksi P kepuasan Pada gilirannya, P kepuasan dan kepuasan (aktual atau prediksi) memprediksi P’s kepemilikan dalam E.Analisis faktor dapat digunakan untuk meringkas jumlah besar kebutuhan dan keterampilan dalam jumlah lebih sedikit referensi faktor-faktor atau dimensi. Faktor-faktor ini menghasilkan skor yang telah terbukti menjadi lebih stabil dan lebih dapat diandalkan daripada kebutuhan dan keterampilan skor dan dengan demikian lebih berguna dalam prediksi. Selain itu, faktor-faktor yang dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan dan kemampuan bahwa P tidak memiliki tapi bisa berpotensi mendapatkan, dan seperti nilai diperkirakan akan bermanfaat dalam konseling untuk membantu klien meramalkan jenis pekerjaan yang dapat mereka lakukan di masa depan di mana mereka akan paling puas dan memuaskan. Faktor-faktor ini yang ditunjuk secara TWA oleh val istilah-ues (untuk kebutuhan faktor) dan kemampuan (untuk faktor keterampilan). Artinya, di TWA, nilai-nilai de-didenda sebagai referensi yang mendasari dimensi kebutuhan, dan kemampuan adalah keterampilan yang mendasari dimensi rujukan. Sebab korespondensi PE memerlukan mensurate com-variabel di E samping, sejajar dimensi rujukan yang mendasari E
reinforcers dan persyaratan keterampilan disebut reinforcer faktor dan membutuhkan-KASIH kemampuan masing-masing. Keempat konstruksi baru-nilai, kemampuan, faktor-faktor reinforcer, dan kemampuan-persyaratan dimasukkan ke dalam model prediksi TWA. Jadi, P-E baru korespondensi variabel adalah:
1. Surat-menyurat E reinforcer faktor untuk nilai-nilai P.
2. Surat-menyurat kemampuan P E persyaratan kemampuan.

Gambar 1.1 Diagram TWA dasar model prediksi.
Gambar 1.1 menunjukkan P Kepuasan sebagai prediksi (garis solid dengan panah) dari E-Reinforcers-to-P-Nilai Correspondence (Reinforcer Faktor-faktor yang disingkat menjadi Rein-forcers untuk kenyamanan dalam menggambar gambar). P Kepuasan diperkirakan dari P-Kemampuan-ke-E-Persyaratan
Correspondence (Kemampuan Requirements disingkat menjadi Persyaratan). Kepuasan P dan P Kepuasan diperlihatkan untuk memprediksi P Tenure melalui teramati (berlari kotak) variabel keputusan Tetap / Keluar untuk P dan Tahan / Fire E.

MENINGKATKAN KEMAMPUN PREDIKSI
Prediksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan variabel moderator. Variabel moderator adalah variabel yang mempengaruhi (moderat) korelasi antara dua variabel. Untuk im-membuktikan prediksi kepuasan dan PE korespondensi kepuasan dari variabel, TWA mengusulkan bahwa setiap moderat prediksi yang lain. Yaitu, P Kepuasan moderat korelasi antara E penguatan kapabilitas P-Nilai Koresponden dan P Kepuasan. Korelasi prediksi ini akan lebih tinggi untuk duduk pekerja dan lebih rendah untuk pekerja tidak memuaskan (atau untuk lebih memuaskan kurang memuaskan versus pekerja, masing-masing). Dalam cara yang sama, P Kepuasan mod-erates korelasi antara P-Kemampuan-ke-E-Persyaratan Correspondence dan P Kepuasan. Korelasi prediksi ini akan lebih tinggi untuk puas (atau lebih puas) pekerja dan lebih rendah untuk puas (atau kurang puas) pekerja.

E Reinforcers
Nilai P Correspondence P Kepuasan Tetap /Keluar

P Tenure

P Kemampuan untuk
Persyaratan P Kepuasan Mempertahankan /Api
Correspondence

Gambar 1.1 TWA Dasar model prediktif.

Teori kerja penyesuaian lebih lanjut mengusulkan bahwa gaya korespondensi
moderat prediksi kepuasan dan kepuasan. Kepribadian gaya (P
Style) dalam TWA terdiri dari empat variabel yang menjelaskan bagaimana P biasanya merespon: 1. Celerity, atau kecepatan respons. 2. Pace, atau intensitas respons. 3. Irama, atau pola respons. 4. Daya tahan, atau ketekunan (jangka waktu) respons. Paralel variabel lingkungan menggambarkan gaya (E Style). TWA mengusulkan bahwa P-Gaya-ke-E-Gaya Correspondence moderat prediksi Kepuasan P dan P Satis-factoriness dari korespondensi PE masing-masing variabel. Prediksi P dan P Kepuasan Kepuasan akan lebih tinggi untuk pekerja korespondensi dengan gaya yang lebih baik dan lebih rendah untuk pekerja dengan gaya yang lebih miskin korespondensi. Akhirnya, faktor lain (seperti minat dan kepribadian) yang tidak disertakan dalam TWA’s PE korespondensi variabel dapat memiliki pengaruh pada P satisfac-tion, kepuasan, dan kepemilikan. Gambar 1.2 memperlihatkan model prediksi TWA diperluas dengan variabel moderator hubungan (ditampilkan dalam garis patah) dan “faktor-faktor lain.” Meskipun faktor-faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hasil penyesuaian kerja (yaitu, duduk-isfaction, kepuasan, dan masa jabatan), penelitian mengenai model prediksi TWA yang secara konsisten menunjukkan bahwa variabel korespondensi PE dapat bekerja untuk meramalkan hasil penyesuaian dengan ketepatan yang cukup untuk secara teoritis dan praktis berguna. TWA model prediksi yang dapat digunakan untuk membantu orang mengidentifikasi dan memilih di antara bekerja kemungkinan yang mungkin akan membawa mereka kepuasan, duduk-isfactoriness, dan kepemilikan di masa depan. Model prediksi, bagaimanapun, tidak memberikan penjelasan tentang proses penyesuaian kerja-bagaimana P dan E mencapai korespondensi bila kurang atau kembali ketika itu hilang.

PROSES MODEL TEORI PENYESUAIAN KERJA
Proses TWA model yang dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana PE korespondensi adalah dicapai, dipertahankan, dan reachieved, jika perlu. Meskipun TWA menyediakan pemeliharaan bagi perilaku dan penyesuaian perilaku, fokus di sini adalah ada Ereinforcers Nilai P koresponden P Gaya untuk E gaya koresponden P Kemampuan untuk E persyaratan koresponden P Kepuasan faktor Lain FaktorTetap / Keluar Mempertahankan / Api P Tenure Gambar 1.2 Model Input Expanded TWA. terakhir karena implikasi untuk bekerja dengan orang yang mungkin mencari nasihat-ing (mereka yang berhasil mempertahankan korespondensi dengan KASIH lingkungan mereka tampaknya tidak akan mencari konseling). Lebih luas TWA diskusi tentang proses yang tersedia dalam model Dawis (1996) dan Dawis dan Lofquist (1984).TWA membangun yang baru memperkenalkan dalam model proses penyesuaian gaya. Ad-gaya justment terdiri dari empat variabel: fleksibilitas, keaktifannya, reactiveness, dan ketekunan. Setiap variabel didefinisikan sebagai model proses sedang dijelaskan. Dalam pembahasan berikut ini, fokusnya adalah pada P, meskipun proses paralel dapat de-scribed untuk E, juga.
Teori penyesuaian kerja’s model menggambarkan proses penyesuaian sebagai sebuah siklus. Siklus dimulai ketika P menjadi tidak puas dan memulai penyesuaian menjadi-havior. Ingatlah bahwa hasil ketidakpuasan ketika P merasakan discorrespondence menjadi-tween E reinforcers dan P kebutuhan dan nilai-nilai. Ps berbeda dapat mentolerir derajat berbeda discorrespondence dan ketidakpuasan sebelum mereka melakukan penyesuaian perilaku. Tingkat discorrespondence ditoleransi sebelum menjadi dissatis-fied cukup untuk terlibat dalam perilaku penyesuaian mendefinisikan f P lexibility. Fleksibilitas tinggi berarti P tidak mudah menjadi puas; sebaliknya, fleksibilitas rendah berarti P adalah mudah puas.
Setelah perilaku penyesuaian dimulai, P memiliki dua mode sia-sia-penyesuaian mampu. Pertama, P bisa menyesuaikan dengan bertindak di E untuk mengurangi discorrespondence dan, dengan demikian, ketidakpuasan. P bisa mencoba untuk mengubah E reinforcers atau E persyaratan keahlian atau keduanya. Jadi, misalnya, P bisa menuntut kompensasi kenaikan gaji jika kebutuhannya tidak cukup terpenuhi. Modus penyesuaian ini disebut keaktifannya dalam TWA. Kedua, P bisa menyesuaikan dengan bertindak pada diri daripada E untuk mengurangi discorrespondence. P akan mencoba mengubah P kebutuhan sendiri atau keterampilan atau keduanya. Sebagai contoh, P dapat menggunakan keterampilan yang lebih baik atau memperoleh keterampilan baru untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik untuk meyakinkan E untuk meningkatkan P’s kompensasi. Modus penyesuaian ini disebut reactiveness di TWA. Kedua modus penyesuaian dilihat sebagai uncorrelated yaitu, P dapat berada di salah satu dari empat com-binations dari dichotomized keaktifannya dan reactiveness (tinggi-tinggi, tinggi-rendah, rendah-tinggi, rendah-rendah).
Akhirnya, orang akan bekerja hanya terlalu lama pada berusaha untuk mengurangi discorrespondence dan ketidakpuasan sebelum akhirnya menyerah dan meninggalkan E (berhenti pekerjaan mereka). Berapa lama P akan berusaha untuk menyesuaikan sebelum berhenti mencerminkan P’s ketekunan. Seperti fleksibilitas, ketekunan berbeda dalam tingkat yang berbeda antara Ps. Kurang gigih Ps akan berhenti mencoba untuk menyesuaikan lebih mudah daripada akan lebih gigih Ps. Jadi, menyesuaikan-ment siklus berakhir dengan P menjadi baik puas lagi atau tidak puas untuk meninggalkan E. Seiring waktu, P penyesuaian gaya pilihan mungkin cenderung menjadi lebih stabil. Ketika ini terjadi, kita dapat berbicara tentang fleksibilitas, keaktifannya, reactiveness, dan persever-terorganisir sebagai ciri-ciri, yaitu sebagai kecenderungan perilaku khas. Yang lebih menonjol adalah kecenderungan perilaku seperti itu, yang lebih penting dalam konseling mereka menjadi orang-orang yang berusaha untuk menyesuaikan diri dalam bekerja (berusaha untuk mencapai atau reachieve korespondensi dengan E). Gambar 1.3 adalah diagram dari proses TWA’s model. Ini menunjukkan penyesuaian pekerjaan sebagai siklus, dengan P’s penyesuaian yang diprakarsai oleh ketidakpuasan (P Kepuasan: Tidak). Ia juga menunjukkan proses serupa terjadi untuk E. Jadi, P dan E bisa sama-sama berada di Pemeliharaan Perilaku, baik dalam Perilaku Penyesuaian, atau satu di Pemeliharaan dan yang lainnya di Penyesuaian. Gambar 1.3 menunjukkan grafis mengapa, untuk menjadi sukses, setiap konseling P untuk bekerja penyesuaian harus memperhitungkan E juga. P Pemeliharaan Ya Perilaku P Kepuasan Tidak P Fleksibilitas P Penyesuaian Perilaku P Ketekunan E Reinforcers P Ketrampilan P Kebutuhan E Kebutuhan Correspondence Correspondence E Ketekunan E Penyesuaian Perilaku E Pemeliharaan Perilaku E Fleksibilitas Tidak P Kepuasan (E Kepuasan) Ya
Gambar 1.3 Proses TWA Model.

TEORI PENYESUAIAN KERJA
VARIABEL DAN PENGUKURANNYA

Pada bagian ini, TWA variabel yang didefinisikan secara lebih rinci, dan konvensional psikometrik cara mengukur mereka dibahas. Namun, TWA variabel dapat diukur dengan cara lain (lihat Lain Instrumen dan Metode Lain detiktion) jika langkah-langkah yang dijelaskan psikometrik tidak tersedia.

KEPUASAN
Dalam TWA, kepuasan diperlakukan sebagai variabel keadaan, yang didefinisikan sebagai suatu respon afektif untuk evaluasi kognitif PE korespondensi (persepsi tentang seberapa baik kembali E inforcers P sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan). Sebuah respons afektif positif kedudukan; negatif adalah ketidakpuasan.
Kepuasan, jadi didefinisikan, adalah sebuah variabel dengan banyak referensi yang berbeda. Kerja satis-faksi memiliki setidaknya tiga: kepuasan kerja, kepuasan kerja, dan kepuasan karier. TWA penelitian telah prihatin terutama dengan kepuasan kerja, yaitu kepuasan dengan reinforcers ditemukan pada pekerjaan. Namun, penelitian TWA sesekali diperiksa kepuasan dengan pekerjaan dan karir reinforcers. Kepuasan-ketidakpuasan biasanya diukur melalui kuesioner untuk memperoleh responden ‘deskripsi tanggapan afektif mereka. Mengukur kepuasan kerja terdiri dari dua jenis: global dan facet. Langkah-langkah global menimbulkan responden secara keseluruhan duduk-isfaction dengan pekerjaan, dengan memperhitungkan semua aspek. Langkah facet responden mendatangkan ‘kepuasan untuk berbagai aspek kerja (seperti gaji, kondisi kerja, dan kemampuan pemanfaatan). Facet segi ukuran laporan biasanya skor serta total skor (jumlah aspek atau item skor), sedangkan laporan langkah-langkah global skor tunggal yang mewakili keseluruhan tingkat kepuasan (lihat juga Fritzsche & Parrish, Bab 8, buku ini).
Untuk penelitiannya, Kerja Proyek Penyesuaian mengembangkan sebuah ukuran segi kepuasan kerja, Minnesota Satisfaction Questionnaire (MSQ; Weiss, Dawis, Inggris, & Lofquist, 1967), dengan skala menghasilkan skor selama 20 faset, dua faktor berbasis nilai (intrinsik dan ekstrinsik Kepuasan), dan total skor (Umum Satis-faksi) disimpulkan di semua item. Ke-20 aspek MSQ adalah pemanfaatan kemampuan, prestasi, aktivitas, kemajuan, kekuasaan, kebijakan dan praktek perusahaan, kompensasi, rekan kerja, kreativitas, kemandirian, nilai-nilai moral, pengakuan, kembali sponsibility, keamanan, pelayanan sosial, status sosial, pengawasan-hubungan manusia , pengawasan-teknis, variasi, dan kondisi kerja. 20 faset ini tidak dengan cara apapun knalpot domain kerja reinforcers, tetapi penelitian tentang TWA substantif harus dimulai di suatu tempat, dan 20 segi tampaknya menjadi tempat yang baik untuk memulai. Mereka terus bermanfaat secara empiris dan praktis.

KEBUTUHAN DAN NILAI
Sebab TWA hipotesi bahwa kepuasan adalah fungsi dari korespondensi, 20-kebutuhan Pentingnya pertanyaan Minnesota (Miq; Gay, Weiss, Hendel, Dawis, & Lofquist, 1971) dikembangkan untuk sejajar dengan MSQ. 20 pekerjaan yang sama digunakan dalam segi dua instrumen, perbedaan sebagai pertanyaan yang diajukan responden: “Seberapa puaskah Anda dengan aspek ini?” (MSQ) versus, “Seberapa penting aspek ini kepada Anda?” (Miq). Beberapa faktor analisis dari 20 Miq perlu skala menunjukkan bahwa enam faktor struktur-mendatang adalah representasi terbaik. Enam faktor yang dijuluki sebagai “nilai-nilai karena sponse kembali ke Miq melibatkan penilaian dari” kepentingan “(Lofquist & Dawis, 1978). Keenam nilai-nilai Miq adalah pencapaian, altruisme, otonomi, kenyamanan, keamanan, dan status. Masing-masing komponen perlu mencetak gol dari skala, yang menjelaskan mengapa Miq adalah deskribsi sebagai “ukuran kebutuhan dan nilai-nilai” (putaran, Henly, Dawis, Lofquist, & Weiss, 1981). Nilai dalam TWA dianggap ciri variabel, bahkan lebih dari kebutuhan. Putaran dan Armstrong (Bab 13, buku ini) menggambarkan Miq dan menggunakan lebih utuh .

PENGUAT KAPABILITAS DAN FAKTOR-FAKTOR PENGUAT KAPABILITAS
Ini E variabel yang secara teoritis diperlukan untuk memungkinkan pembangunan P E korespondensi variabel sebagai prediktor untuk kepuasan. Untuk mempermudah persoalan, sebuah pendekatan sepadan korespondensi diadopsi itu diasumsikan bahwa setiap kebutuhan dapat dipasangkan dengan reinforcer yang sepadan. Minnesota pembagian tugas pertanyaan (MJDQ; Borgen, Weiss, Tinsley, Dawis, & Lofquist, 1968) dikembangkan untuk mengukur sama 20 reinforcers (kerja faset) yang digunakan dalam MSQ dan Miq. Kali ini, pertanyaan instrumen itu, pada dasarnya, “Berapa banyak yang
aspek ini deskriptif dari pekerjaan itu? ” Yang MJDQ juga digunakan untuk menghasilkan Occupational Reinforcer Patterns (ORPs; Stewart et al., 1986). Setiap ORP terdiri dari profil skor, satu skor untuk setiap ulang inforcer, deskriptif dari suatu pekerjaan itu dinilai oleh reinforcers sebagai pemimpin industri baik atau supervisor. Data untuk subset dari 109 ORPs, dipilih untuk mendekati distribusi pekerjaan angkatan kerja yang dipekerjakan, adalah tunduk pada analisis faktor (Shubsachs, putaran, Dawis, & Lofquist, 1978). Tiga faktor yang muncul mewakili kombinasi sisik yang paralel dari enam nilai-nilai Miq: prestasi-otonomi-status, keamanan-kenyamanan, dan altruisme. Ini adalah identi-fied sebagai faktor penguatan diri, penguatan faktor lingkungan, dan faktor penguatan sosial, masing-masing. Jadi, MJDQ, yang Miq, dan MSQ menyediakan seperangkat alat untuk reinforcers sepadan, kebutuhan / nilai, dan kepuasan, semua mengacu pada pekerjaan yang sama 20 faset. Penelitian ini juga mengarah pada pengembangan Sistem Klasifikasi Occupational Minnesota (MOCS; sekarang dalam edisi ketiga sebagai MOCS III; Dawis, Dohm, Lofquist, Chartrand, & Due, 1987), yang mengklasifikasikan sejumlah besar pekerjaan dengan tingkat yang diri sendiri, lingkungan, dan kebutuhan sosial dan nilai-nilai diperkuat (lihat Gore & Hitch, Bab 16, buku ini).

KEPUASAN
Dalam TWA, kepuasan sebenarnya adalah variabel kepuasan-kepuasan E
P sebagai pekerja dan karyawan, dan dengan performa P dalam melaksanakan tugas pekerjaan dan P perilaku sebagai anggota dari organisasi kerja. Minnesota skala kepuasan (MSS; Gibson, Weiss, Dawis, & Lofquist, 1970) adalah instrumen nilai-ment yang harus diselesaikan oleh P majikan atau wakil majikan, biasanya pekerjaan pengawas. Ini terdiri dari 28 item terorganisir ke dalam empat faktor skala berdasarkan: Kinerja, kesesuaian, Personal Penyesuaian, dan dapat diandalkan. Skor kelima, skala Kepuasan, adalah jumlah dari semua item skor. Sebagai variabel kepuasan, kepuasan dianggap sebagai variabel keadaan.

KETERAMPILAN DAN KEMAMPUAN
Keterampilan perilaku berulang yang dilakukan sebagai jawaban atas ditentukan tugas. Keterampilan bervariasi pada sejumlah dimensi: isi dari tugas, kesulitan tugas, waktu yang diperlukan untuk melakukan tugas (kecepatan), dan upaya yang dikeluarkan pada tugas, antara lain. Pekerja dapat dikategorikan dengan bekerja set keterampilan yang mereka miliki. (Untuk perawatan diperpanjang keterampilan dan kemampuan, lihat Lubinski & Dawis, 1992.)
Keterampilan dasar terdiri dari beberapa kelompok: sensoris dan keterampilan perseptual, kognitif dan keterampilan afektif, dan keterampilan motorik dan fisik. Keterampilan yang lebih tinggi melibatkan berbagai kombinasi keterampilan dasar. Kemampuan disebut tes tes keterampilan lebih tinggi. Ketika tes ini dianalisis faktor, faktor struktur hirarkis umumnya ditemukan (Carroll, 1993). Di atas adalah faktor umum, Spearman g atau umum abil-ity. Berikutnya adalah faktor kelompok yang biasanya merujuk kepada konten (misalnya, kemampuan verbal, nu-merical kemampuan, kemampuan spasial). Berikut ini adalah faktor kemampuan khusus (misalnya, pemahaman bacaan, kosa kata, pengetahuan tentang tata bahasa), masing-masing yang dapat diukur oleh beberapa tes keterampilan.
Karena itu dibangun dengan baik dan tersedia, Test Kemampuan Umum Battery (GATB; US Department of Labor, 1970; lihat juga Ryan Krane & Tirre, Bab 14, buku ini) adalah yang digunakan dalam penelitian TWA sebagai ukuran keterampilan dan kemampuan.
Itu Teori Minnesota Penyesuaian Kerja 13 GATB terdiri dari 12 keterampilan tes yang mengukur kemampuan sembilan faktor-faktor yang berasal dari studi analitik dari sekitar 100 tes keterampilan. Sebelum GATB, baterai khusus tes keterampilan yang dipilih harus dikembangkan untuk masing-masing pendudukan untuk digunakan dalam De-partment Tenaga Kerja’s seleksi dan program penempatan. Hal ini menyebabkan mau tidak mau dengan akumulasi banyak tes keterampilan, sedangkan GATB, dengan hanya 12 tes, dapat digunakan untuk tujuan yang sama untuk semua pekerjaan. Itu dari pengalaman bahwa GATB ini diturunkan TWA gagasan mendefinisikan kemampuan sebagai “referensi dimensi” (faktor) dalam deskripsi (pengukuran) keterampilan.
The Kejuruan Psikologi Program Penelitian (Department of Psychology, Uni-versity of Minnesota) telah mengembangkan Minnesota Ability Test Battery (MATB) sebagai paralel (psychometrically setara) bentuk GATB (Dawis & Weiss, 1994).

KETERAMPILAN DAN PERSYARATAN KEMAMPUAN
Pekerjaan yang biasanya didefinisikan dalam istilah pekerjaan tugas-tugas yang perlu dilakukan. Karena kinerja tugas memerlukan keterampilan, pekerjaan dapat juga digambarkan dalam bentuk keahlian yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan. Untuk menentukan persyaratan keterampilan, Department Tenaga Kerja menggunakan metode empiris, yang mensyaratkan several pemberian tes keterampilan kepada sekelompok pekerja di pekerjaan tertentu dan menggunakan hasil tes untuk memprediksi pekerja kinerja peringkat. Keterampilan yang diperkirakan per-kinerja peringkat itu diambil sebagai deskriptif unik dari pekerjaan. TWA mengadopsi ide ini menggunakan persyaratan keterampilan untuk menggambarkan pekerjaan (misalnya, E dalam PE). Departemen Tenaga Kerja menggunakan GATB, sebagai ganti tes keterampilan, untuk memastikan tiga atau empat bakat (kemampuan dimensi) yang menjadi ciri khas masing-masing disebut pendudukan dan menetapkan Pola Occupational Aptitude (OAP; US Department of Labor, 1970, Bagian II ). OAPs bertekad untuk ratusan pekerjaan. TWA penelitian menggunakan OAPs sebagai data untuk teori-pengukuran yang diperlukan ity abil-persyaratan. Dengan menggunakan kemampuan OAPs sebagai persyaratan, individu tertentu “ap-titude” (diprediksi kepuasan) dapat dipastikan untuk salah satu dari ratusan pekerjaan yang ada OAPs. Lebih jauh lagi, data OAP-rated incorpo ke dalam sistem MOCS, memungkinkan klasifikasi ratusan occupa-tions dalam hal persyaratan dan reinforcer kemampuan sistem (lihat Gore & Hitch, Bab 16, buku ini).

KORESPONDEN
Korespondensi sebagai cocok adalah sepadan PE dinilai melalui pengukuran, seperti sebagai Miq dan ORPs atau GATB dan OAPs. Dengan langkah-langkah sepadan, perlu / nilai-reinforcer korespondensi dan keterampilan / kemampuan-persyaratan correspon-dence dapat diukur untuk digunakan sebagai prediktor kepuasan dan kepuasan, masing-masing. Tetapi sepadan bahkan dengan pengukuran, penilaian korespondensi itu ternyata tidak mudah. Putaran, Dawis, dan Lofquist (1987) mengembangkan 19 di antara beberapa indeks kesesuaian yang memperhitungkan ketinggian, bentuk, dan menyebarkan (tiga komponen independen profil) serta directionality, titik nol, dan bobot pentingnya. Dengan menggunakan indeks 19, mereka menemukan berbagai hasil data yang sama dalam memprediksi kepuasan dari kebutuhan-reinforcer korespondensi, dengan hasil terbaik yang diperoleh secara keseluruhan dengan sederhana correla-tion sebagai indeks korespondensi. Indeks sederhana ini sehingga yang paling sering digunakan dalam penelitian kami di TWA’s prediksi model.
Tenure Periode Jabatan dapat didefinisikan semata-mata sebagai lama tinggal di tempat kerja. Tetapi bahkan seperti sederhana definisi dapat menyembunyikan banyak masalah. Bagaimana daun ketidakhadiran dihitung? Hari sabat-icals? Pekerjaan paruh waktu? Bagaimana jika tugas-tugas pekerjaan berubah? Kapan menjadi sebuah pekerjaan baru? Bagaimana dengan pindah ke jenis pekerjaan yang sama tetapi dalam com-pany berbeda? Hal ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai jenis kepemilikan: posisi jabatan, pekerjaan jabatan, pekerjaan jabatan, dan kepemilikan perusahaan atau organisasi. Pertimbangan-pertimbangan seperti itu menunjukkan bahwa tidak ada satu cara yang sederhana atau untuk mendefinisikan kepemilikan. Hal ini kiri untuk penelitian penyelidik untuk menentukan kepemilikan secara operasional dalam setiap studi. Dalam penelitian TWA, incumbent diminta untuk memberikan gelar pekerjaan, lapangan kerja tanggal, dan jam per minggu, dan data-data ini digunakan untuk menghitung “jumlah penuh waktu minggu dipekerjakan” sebagai ukuran jabatan (Dawis & Lofquist, 1984, hal 208).

GAYA VARIABEL
Gaya variabel tambahan terbaru TWA. Mereka dikonseptualisasikan untuk mengisi di celah yang tersisa di rekening TWA dari proses penyesuaian kerja. Variabel gaya ditafsirkan sebagai ciri-ciri, yang didefinisikan sebagai kecenderungan perilaku stabil yang dihasilkan dari pengalaman menjadi-havioral atas cukup lama. Sebagian besar variabel gaya Ables juga ditafsirkan sebagai waktu-diindeks variabel, yang membutuhkan rujukan ke waktu dalam definisi mereka. Jadi, untuk gaya kepribadian, celerity adalah seberapa cepat P biasanya kembali sponds, kecepatan adalah seberapa banyak energi biasanya P expends per satuan waktu, irama mengacu pada pola khas kecepatan dari waktu ke waktu, dan daya tahan P adalah berapa lama biasanya dapat mempertahankan respon.
Sehubungan dengan penyesuaian gaya, lexibility f mengacu pada berapa lama biasanya P toler-Ateş discorrespondence dan ketidakpuasan sebelum memulai perilaku penyesuaian, dan ketekunan adalah berapa lama biasanya P tetap dalam penyesuaian perilaku. Iklan-mode justment waktu tidak diindeks, meskipun terjadi penyesuaian dari waktu ke waktu: ac-P tiveness khas menjadi kecenderungan untuk menyesuaikan dengan perubahan mempengaruhi E, versus mempengaruhi perubahan dalam P (diri)-reactiveness. Komentar paralel berkaitan dengan gaya E variabel, juga.
Ukuran variabel gaya yang memadai kualitas psikometrik (reliabilitas, validitas) yang belum tersedia. Untuk sebagian besar, penilaian (rating) skala telah digunakan dalam penelitian TWA (Dawis & Lofquist, 1984, hal 216). Dua novel ap-pendekatan untuk pengukuran telah dicoba dengan hasil yang menjanjikan, salah satu sig-nal menggunakan teori deteksi untuk mengukur fleksibilitas (Cheung, 1975), dan lain dengan menggunakan item dari kepribadian terkenal instrumen untuk mengukur fleksibilitas, aktif-an, dan reactiveness (Lawson, 1991). Namun, tanpa ukuran terbukti variabel gaya, gaya proposisi dari TWA belum diuji secara ketat sebagai proposisi dasar telah model prediksi.

FAKTOR LAIN
Sebab-akibat dalam perilaku manusia baik ganda dan tumpang tindih: Untuk setiap tergantung variabel, hampir selalu ada banyak sumber variasi (penyebab), dan ini sering berkorelasi. Jadi, tidak mengherankan untuk menemukan TWA variabel lain selain variabel yang dapat memprediksi kepuasan, kepuasan, dan kepemilikan. Salah satunya adalah kepentingan kejuruan, salah satu yang tertua, terbaik diukur, dan sebagian besar variabel yang diteliti dalam psikologi kejuruan. Kepentingan prediksi yang kuat kepuasan
dan kepemilikan, sebagaimana dibuktikan oleh literatur yang luas. Dan kepentingan rendah berkorelasi dengan kebutuhan, nilai-nilai, keterampilan, dan kemampuan (Dawis, 1991). Jadi, meskipun tidak menyebut TWA itu, kepentingan adalah variabel penting untuk disertakan dalam setiap penelitian tentang pekerjaan dan karier. Penting lain salah satu ini “lain” variabel kepribadian (singkatan dari ciri-ciri kepribadian yang diukur oleh kuesioner dan persediaan). Seperti kepentingan, ada yang luas diukur literatur tentang ciri-ciri kepribadian. Seperti kepentingan, kepribadian diukur terkenal perilaku berkorelasi hasil, seperti kepuasan, kepuasan, dan kepemilikan. Seperti kepentingan, kepribadian harus dimasukkan dalam penelitian tentang pekerjaan dan karir. Sebagai contoh, conscien-tiousness, keterbukaan terhadap pengalaman, dan kestabilan emosi (neurotisisme) telah ditunjukkan untuk memprediksi tingkat okupasi dewasa dan pendapatan (Hakim, Higgins, Thoresen, & Barrick, 1999).
Teori penyesuaian kerja mempertimbangkan kepentingan dan ciri-ciri kepribadian sebagai tatanan yang lebih tinggi, lebih kompleks, variabel yang dapat diturunkan dari Funda-mental yang lebih TWA variabel struktur dan gaya. Keyakinan ini belum diuji, tetapi telah menunjukkan bahwa minat dan kepribadian mengkorelasikan hanya sedikit (0.20s untuk 0.30s) dengan nilai-nilai dan kemampuan (Dawis, 1991). Namun satu set “faktor lain” adalah bahwa faktor-faktor keluarga. Ini termasuk com-Plex variabel seperti budaya keluarga, keluarga harapan, dan keluarga status sosio-ekonomi. Budaya keluarga yang longgar adalah campuran dari variabel termasuk struktur keluarga (misalnya, nuklir versus diperpanjang, dua-lawan satu-orangtua, jumlah anak,-anak, pengambilan keputusan struktur, ikatan, kedekatan). Harapan keluarga merupakan hasil dari budaya keluarga. Status keuangan keluarga selalu merupakan faktor penting-tor. Faktor-faktor keluarga ini menemukan jalan mereka secara langsung atau tidak langsung ke dalam rantai kausal pengembangan karir dan pekerjaan penyesuaian.
Sebuah set terakhir “faktor lain” adalah pasar tenaga kerja. Permintaan dan penawaran pekerjaan di pekerjaan tertentu P adalah penting untuk dipertimbangkan. Ketersediaan pelatihan oppor-tunities, biaya seperti itu, faktor-faktor gesekan seperti diskriminasi-semua ini dan banyak lain mungkin hipotesis untuk mempengaruhi rantai kausal pengembangan karier dan bekerja penyesuaian dalam cara yang penting dan dalam situasi tertentu.
Mungkin ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Beberapa, atau bahkan banyak, dari mereka mungkin akan JL TWA terkait dengan variabel atau mungkin moderat nilai prediksi mereka. Seperti yang kami temukan ketika kami pertama kali mulai penelitian kami, orang dapat pergi dan di mendalilkan variabel indepen-dent yang mungkin memiliki pengaruh signifikan, tetapi yang dapat dengan mudah menghilangkan salah satu upaya penelitian-yang, di tempat pertama, adalah teori mana datang di – untuk mempersempit dan membatasi fokus penelitian. Dan itulah yang TWA lakukan bagi kita.

INSTRUMEN LAIN DAN METODE
TWA banyak penelitian telah memanfaatkan Miq, MSQ, MSS, MJDQ, dan ORPs-in struments dikembangkan untuk TWA. Satu kesalahpahaman di lapangan adalah bahwa penelitian tentang TWA dapat dilakukan hanya dengan instrumen ini. Kesalahpahaman semacam ini diadakan tentang teori-teori lain juga, yang sangat disayangkan karena teori hanya sekitar konstruksi dan saling keterkaitan dan tidak memikirkan langkah-langkah untuk konstruksi. Peneliti yang berbeda dapat menggunakan berbagai instrumen untuk konstruksi yang sama dan bahkan menggunakan analisis yang berbeda untuk mengorek keberadaan hubungan yang sama. Pada kenyataannya, dukungan bagi sebuah teori yang lebih kuat ketika datang dari penggunaan instrumen lain dan metodologi dan pendekatan analitik.
Sejauh menyangkut TWA, ada banyak instrumen lain yang bagus yang tersedia
untuk mengukur konstruksi dasar: kepuasan, kepuasan, kebutuhan, nilai-nilai, keterampilan, kemampuan. Hanya variabel-variabel gaya tidak memiliki instrumen yang memadai karena hal baru, tetapi, pada waktunya, kekurangan ini dapat diatasi. Teori Kerja variabel Penyesuaian juga dapat dinilai dengan metode selain penggunaan instrumen psikometrik. Ketika instrumen psikometrik tidak tersedia atau tidak dapat digunakan, konselor masih dapat menerapkan TWA dengan menggunakan metode penilaian lain. Sebagai contoh, metode estimasi atau penilaian menurut penilaian atau peringkat (digunakan dengan variabel gaya seperti yang dijelaskan sebelumnya) dapat digunakan untuk menilai kebutuhan, nilai-nilai, keterampilan, kemampuan, dan TWA variabel lain. Cara untuk memastikan validitas dan reliabilitas penilaian dan peringkat akan dijelaskan dalam litera-ture (misalnya, Guilford, 1954).
Metode inferensi juga dapat digunakan bersama-sama dengan corollaries dari TWA Usul-usul (lihat Tabel 1.1 pada halaman 20-21). Sebagai contoh, Corollary IIA mengatakan bahwa jika anda tahu P reinforcers dari pekerjaan sebelumnya dan kau tahu P satis-faksi dengan pekerjaan itu, Anda dapat menyimpulkan nilai-nilai P-tanpa manfaat langsung mengukur-ment. Wajar IIB mengatakan bahwa jika Anda tahu nilai-nilai P dan P kepuasan dalam pekerjaan, Anda dapat menyimpulkan apa yang reinforcers dalam pekerjaan itu mungkin.

PENELITIAN MENGENAI TEORI-TEORI PENYESUAIAN KERJA
Bab batas mencegah TWA presentasi penelitian secara rinci (untuk lebih com –
menyelesaikan proses liputan, lihat Dawis & Lofquist, 1984, hlm. 69-94, dan Dawis, 1996, hlm. 98-102). Penelitian ini diringkas di sini. Dukungan yang kuat untuk tiga proposisi pertama dari TWA (lihat Tabel 1.1), yang adalah tentang peran kepuasan dan kepuasan dalam pekerjaan penyesuaian dan prediksi kepuasan dan kepuasan. Dukungan ini datang bukan hanya dari penelitian TWA tetapi, lebih meyakinkan, dari penelitian banyak investiga diterima oleh seluruh partisipan menggunakan instrumen selain yang dikembangkan untuk penelitian TWA. Untuk ujian-contoh, setiap studi validitas tes kemampuan sebagai prediktor kinerja diberi nilai dalam setiap pekerjaan adalah dukungan untuk Proposisi III, yang menyatakan bahwa pra-kepuasan adalah kemampuan dari kebutuhan surat-menyurat.
Dukungan untuk masa jabatan proposisi (VI, VII, dan VIII) juga kuat dan berasal dari kedua TWA dan penelitian lain. Hubungan kepuasan untuk masa jabatan adalah par-ticularly kuat, didukung oleh literatur yang luas.Proposisi yang tersisa, terutama gaya proposisi (X-XVII), belum pernah dipelajari sebagian besar apapun. Beberapa studi menunjukkan dukungan bagi Modera-tor hubungan proposisi (IV dan V). Aspek dari gaya proposisi telah dipelajari, dengan hasil yang beragam, masalah utama adalah bahwa pengukuran variabel Ables. Ada beberapa alasan untuk percaya bahwa pengukuran variabel gaya ini sebagai ciri-ciri kepribadian yang mungkin terletak pada pengukuran (yaitu, pengukuran-ity pribadi ciri-ciri melalui kuesioner dan persediaan).

APLIKASI TOERI PENYESUAIAN KERJA
Teori memiliki penggunaan heuristik, karena itu, akan membantu jika teori itu dibingkai sedemikian cara yang membuatnya mudah untuk mengingat dan mengingat. Dalam hal ini, TWA memiliki keuntungan dalam simetri biner dari konstruksi: orang dan lingkungan, korespondensi dan kepuasan, kebutuhan dan kemampuan, respon dan penguatan, kepuasan dan kepuasan, kebutuhan dan keterampilan, nilai dan kemampuan, struktur dan gaya, pemeliharaan dan penyesuaian, dan celerity en-Durance, kecepatan dan irama, fleksibilitas dan ketekunan, keaktifannya dan reaktif-ness, kepemilikan dan penghentian. Selain itu, konstruksi pasangan ini diselenggarakan oleh dua prinsip: (1) koresponden membuat untuk kepuasan, dan (2) kepuasan perilaku penyesuaian. Teori penyesuaian kerja heuristik dapat digunakan untuk mengatur fakta-fakta, bantuan konseptualisasi, dan menyarankan pendekatan untuk intervensi. Dengan TWA sebagai alat konstruksi konseptual dasar, kita dapat mengatasi berbagai masalah, sebagai illus-trated dalam diskusi berikut tentang pengembangan karir, pilihan karir, dan konseling karier.

PENGARUH PERKEMBANGAN
Pendidikan secara harfiah berarti “membawa keluar.” Apa yang akan “dibawa keluar?” Dari pertama kali, sekolah telah berfokus pada mengeluarkan kemampuan, untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan. Hanya tangensial memiliki persyaratan telah menyentuh. TWA berpendapat bahwa fokus pada persyaratan adalah sama pentingnya dengan yang di atas kemampuan. Anak-anak harus belajar tentang kebutuhan dan nilai-nilai mereka jauh lebih eksplisit, pada tingkat yang sama bahwa mereka belajar tentang keterampilan dan kemampuan mereka. Belajar adalah acquisi-tion. Oleh karena itu, TWA mengusulkan kebutuhan dan nilai-nilai yang harus diperoleh dengan cara yang sama keterampilan dan kemampuan yang diperoleh. Dan dalam belajar seperti itu, kita harus memperhatikan perbedaan individu, dengan hormat yang tepat bagi anak dan keluarga anak.
Jika guru adalah untuk memfasilitasi pengetahuan diri pada anak-anak, mereka harus terlebih dulu menjadi ex-pert untuk menilai kebutuhan, nilai, keterampilan, dan kemampuan on the fly, yaitu, berdasarkan informasi yang biasa tersedia di kelas sehari-hari. Standar instrumen-KASIH dapat membantu dan cenderung digunakan oleh konselor, tetapi pengamatan sehari-hari dapat bermanfaat dan tidak terlalu mengganggu jika guru terampil dalam menggunakan mereka dalam penilaian. Selanjutnya, guru dan konselor harus tahu cara mengajar setiap anak bagaimana menilai diri sendiri, yang pada gilirannya tergantung pada mengetahui tanggapan anak capa-bilities dan penguatan persyaratan.
Tapi belajar tentang kebutuhan, keterampilan, nilai, dan kemampuan bisa menimbulkan masalah dan bahkan traumatis bagi anak yang membandingkan diri dengan anak-anak lain. Salah satu kemungkinan yang-tidote adalah mengajar anak-anak awal tentang perbedaan-perbedaan individual dan semua implikasi dan sekitar TWA pesan bahwa selain perbedaan-perbedaan individual ada perbedaan lingkungan dan lingkungan optimal berbeda untuk setiap anak-yang mungkin membantu anak-anak menjadi lebih sadar dan menghormati mereka sendiri dan orang lain ‘individu-individu. Selain memiliki keterampilan yang tepat, guru, dan konselor harus menyadari kebutuhan mereka sendiri dan nilai-nilai, yaitu, mereka membutuhkan penguatan sendiri-KASIH. Mereka harus tahu bagaimana menilai korespondensi yang dengan berbagai Es, yang di lingkungan sekolah masing-masing termasuk murid dan orang tua mereka. Pengetahuan seperti itu dapat membantu mereka memahami perbedaan efektivitas mereka dengan ferent béda-anak.
Satu hal TWA alamat secara eksplisit adalah lingkungan. Setiap E memiliki fitur khas yang berkaitan dengan persyaratan keterampilan dan penguatan kemampuan. Pada awalnya, si anak hanya beberapa “menonjol Es” (Lofquist & Dawis, 1991), tetapi tumbuh di nomor sebagai anak tumbuh. Masing-masing Es anak dibatasi untuk memulai, tetapi membesar dari waktu ke waktu. Guru dan konselor harus mencari tahu untuk setiap anak apa Es menonjol ini adalah, seberapa jauh batas-batas mereka memperluas, dan apa ciri-ciri khas mereka adalah (persyaratan keterampilan, penguatan kemampuan). Ini adalah informasi yang guru dan konselor dapat digunakan untuk keuntungan masing-masing dalam membantu anak belajar bagaimana cara mengatasi berbagai menonjol Es.
Mengatasi Es berarti penyesuaian, yang berarti belajar tentang diri dan Es dalam penyesuaian-modus perilaku. Anak-anak harus belajar tidak hanya mengenai kebutuhan mereka / nilai-nilai dan keterampilan / kemampuan, tetapi juga penyesuaian gaya mereka. Belajar tentang Es, mereka harus belajar juga, bukan hanya tentang persyaratan dan memperkuat keterampilan-ment kemampuan tetapi juga tentang gaya penyesuaian lingkungan. Memperoleh pengetahuan seperti itu tidak perlu mencakup semuanya sekaligus. Terampil guru dan pembimbing dapat menggunakan contoh-contoh spesifik untuk mengajarkan tentang bahkan hanya satu variabel pada satu waktu, tentang variabel fitur untuk P dan E yang terlibat dalam contoh tertentu. Jika resep sebelumnya dikejar, tiga tolok ukur dapat digunakan untuk bagan kemajuan di sepanjang jalan: anak kepuasan, kepuasan, dan kepemilikan. Penting untuk memastikan apakah seorang anak bahagia atau tidak bahagia di sekolah en-vironment. Penilaian ini harus sama pentingnya dengan penilaian adat anak-kepuasan memenuhi persyaratan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kepemilikan, tinggal di suatu situasi atau melarikan diri dari itu, adalah penting ketiga-dicator ditentukan oleh TWA. Masa jabatan dalam menafsirkan data, anak kepuasan dan status kepuasan harus dipertimbangkan.
Dalam pandangan TWA, perkembangan manusia adalah terbukanya persyaratan (kebutuhan, nilai), kemampuan (keterampilan, kemampuan), dan gaya. Ini berlangsung tergantung pada de-Gree korespondensi PE berpengalaman dengan setiap E bahwa P pertemuan. Pada gilirannya, Es bahwa P perjumpaan tergantung tingkat yang signifikan pada kesempatan atau ketiadaan. Kesempatan berarti akses ke Es yang mempromosikan pembangunan (yaitu, PE tinggi korespondensi). Pembangunan, pada gilirannya, membuka lebih banyak pintu untuk lebih Es yang lebih pro-pembangunan lebih lingkaran yang saleh. Sebaliknya, kurangnya kesempatan pengembangan tards ulang, yang anehnya menyusut kesempatan lebih lanjut, yang selanjutnya menghambat pembangunan-lingkaran setan. Ini adalah hasil logis yang mengalir dari proses TWA model.

MEMILIH KARIR
Memilih karier dengan bijaksana adalah langkah pertama menuju penyesuaian dalam pekerjaan. TWA jelas untuk memilih karier di mana seorang individu dapat merasa puas dan memuaskan. TWA’s prediktor penguatan kapabilitas nilai dan kemampuan-persyaratan-corre-spondences dapat digunakan untuk mempersempit dunia kerja kepada sejumlah pekerjaan dikelola untuk dipertimbangkan. Lalu, “faktor lain” (lihat bagian sebelumnya) dapat digunakan untuk mempersempit daftar lebih jauh. Dalam memilih dari antara para finalis pekerjaan, seorang individu harus menyadari trade-off sifat pilihan, kebutuhan untuk menjadi-tween keseimbangan keuntungan dan kerugian, dan akhirnya memutuskan berdasarkan apa yang paling penting bagi orang. Dengan demikian, pengetahuan mengenai kebutuhan individu, nilai-nilai, keterampilan, kemampuan, dan karakteristik gaya dapat membantu dalam mencapai keputusan yang bijaksana, tetapi juga membutuhkan pengetahuan tentang pekerjaan dalam istilah-istilah yang saling melengkapi: reinforcers, keterampilan dan kemampuan persyaratan, dan karakteristik gaya. Teori Penyesuaian Kerja penelitian, seperti disebutkan sebelumnya, telah mengembangkan taksonomi pekerjaan untuk membantu dalam pilihan karier, Minnesota Clas-sification Occupational System (MOCS). Edisi saat ini, MOCS III (Dawis et al., 1987), adalah atau-ganized sekitar dua sumbu, reinforcers dan persyaratan, dengan tiga kategori reinforcers (diri, sosial, lingkungan) dan tiga kategori kemampuan membutuhkan-KASIH (persepsi, kognitif, motor). Menggunakan tiga tingkatan untuk setiap kategori (tinggi, av – erage, tidak signifikan) 27) mungkin pola, disebut taxons, yang menghasilkan 729 (27 dapat digunakan untuk membantu klien mengidentifikasi kemungkinan yang memperkuat kerja mereka tertentu dari kebutuhan dan nilai-nilai dan memanfaatkan pola khusus mereka keterampilan dan kemampuan (lihat Gore & Hitch, Bab 16, buku ini).

PELAKSANA PEMILIHAN KERJA
Ada tiga langkah untuk menerapkan pilihan karier:
1. Mempersiapkan karir.
2. Mencari posisi awal.
3. Bekerja menaiki tangga karir.
Teori penyesuaian pekerjaan dapat berguna dalam semua tiga langkah.
Dalam persiapan karir konvensional, perhatian difokuskan pada keterampilan yang diperlukan dan pada penguasaan keterampilan. Ini mungkin bagian terpenting dari penyiapan karier, tetapi juga TWA mengarahkan perhatian pada individu reinforcers adalah untuk id-counter dalam pekerjaan, yang membutuhkan persiapan untuk mereka, juga. Sebagai contoh, untuk pertama kali upah, menerima kompensasi secara teratur adalah mantan perience baru, dan beberapa pekerja mungkin tidak tahu bagaimana menangani pengalaman ini dengan bijaksana. Bekerja dalam sebuah tim atau bekerja di bawah pengawasan yang ketat adalah contoh-contoh lain forcement rein-kondisi yang mungkin perlu menghadiri dalam persiapan karir.
Teori penyesuaian kerja tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan tentang menemukan posisi awal atau tentang mencari pekerjaan pada umumnya, tetapi tidak berlaku bila seseorang menghadapi keputusan menerima tawaran kerja atau memilih dari antara tawaran pekerjaan. Kemudian, TWA dapat menyarankan daftar hal yang perlu dipertimbangkan ketika mencapai keputusan. Sebagai contoh, uang mungkin tidak menjadi segalanya bila dilihat dalam terang seseorang reinforcer total kebutuhan. Penggunaan lain TWA konstruksi adalah po-tential mempertimbangkan jalur karir dalam organisasi kerja ketika memutuskan tentang posisi pertama.
Bekerja menaiki tangga karir, orang biasanya berfokus pada apa yang menggantikan struktur inforcer ulang terikat untuk menjadi dan, mungkin, termotivasi oleh antici-pations ini. TWA juga mengingatkan mereka untuk mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan keterampilan dan karakteristik gaya dan untuk mempersiapkan ini. Sebagai contoh, orang-orang profesional yang pindah ke posisi manajerial yang sering kali gagal untuk mempersiapkan persyaratan keahlian (misalnya, keterampilan, keterampilan membuat keputusan) dan gaya persyaratan (misalnya, cepat, irama tak menentu, fleksibilitas tinggi) dari posisi manajerial baru. Sekali lagi, TWA dapat menyarankan daftar hal yang harus hadir sebagai orang menaiki tangga karir.

KERJA ATAU KARIR
ketidakpuasan Ketika pekerjaan atau karier mengalami ketidakpuasan, orang sering mendapatkan dibawa pergi oleh yang mempengaruhi terlibat dan mungkin gagal untuk melihat sesuatu secara rasional. TWA tidak menyediakan cara untuk
melihat hal-hal secara rasional, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif situasi, dan untuk menghasilkan pendekatan yang mungkin untuk memecahkan masalah. TWA mengatakan pekerja yang tidak puas untuk memeriksa kedua pendahulunya dan konsekuensi, khusus, PE korespondensi antesi dan konsekuensi dari P dan E perilaku. TWA juga menunjukkan pendekatan dasar untuk penyesuaian terbuka bagi P: keaktifannya, dengan mendapatkan E untuk mengubah lingkungan kembali dan / atau persyaratan keterampilan, dan reaktif, dengan mengubah kebutuhan P hirarki dan / atau keterampilan.
Meskipun TWA itu tidak menyebut secara eksplisit, satu masalah yang harus diselesaikan kembali bila ada ketidakpuasan adalah pertanyaan tentang persepsi versus kenyataan. TWA konsepsi kepuasan menjelaskan bahwa persepsi memainkan peranan dalam kepuasan / ketidakpuasan. Dengan demikian, penting bagi pekerja yang tidak puas untuk menguji kenyataan dalam banyak cara mungkin. Salah satu cara yang lebih baik untuk melakukan ini adalah untuk mencari pekerjaan atau karier konseling oleh konselor karier yang kompeten, lebih-dalam pandangan TWA-satu berpengalaman dalam TWA.

APLIKASI TERAKHIR: DARI TEORI BEKERJA UNTUK PENYESUAIAN
ORANG-LINGKUNGAN
Persuratan Teori penyesuaian kerja mengacu pada satu lingkungan dihadapi oleh P, tapi jelas, P pertemuan banyak di lingkungan lain. TWA konstruksi dan re-undangan dapat digeneralisasi untuk diterapkan pada setiap lingkungan dan telah disebut lingkungan orang-menyurat (PEC) teori. Eksposisi dari teori PEC diberikan dalam Lofquist dan Dawis (1991) dan Dawis (2002), dan kami sarankan ini untuk mahasiswa yang tertarik untuk membantu klien mencapai kepuasan yang lebih besar dan penguatan kapabilitas dalam keluarga mereka, interpersonal, hubungan intim, dan pekerjaan lingkungan.

Tabel 1.1

Usul-usul formal Teori Penyesuaian Kerja (TWA) Person dalam suatu P lingkungan (E). Berikut ini adalah restatements dari 17 proposisi dari TWA disajikan dalam Dawis dan Lofquist (1984). Revisi Ada dua jenis: (1) proposisi adalah renumbered untuk memberikan prioritas tempat untuk kepuasan. Jadi, misalnya, Proposisi II di tahun 1984 adalah tentang kepuasan proposisi dan Proposisi III tentang kepuasan; sini dibalik; dan (2) nama-nama variabel yang digunakan pada Gambar 1.1, 1.2, dan 1.3. Sebagai contoh, kepuasan dalam tahun 1984 sekarang proposisi P Kepuasan dan sekarang kepuasan P Kepuasan. Jika tidak, isi dan substansi tetap sama dalam versi ini ketika mereka berada di tahun 1984 ditetapkan. Kerja I. Proposisi penyesuaian pada setiap waktu yang ditunjukkan oleh tingkat konkuren Sabtu-isfaction P dan P Kepuasan.
Proposisi II. P Kepuasan diperkirakan dari E Reinforcers ke P Nilai Correspondence,
asalkan ada P E Kemampuan Kemampuan Persyaratan Correspondence.
Wajar IIA. Pengetahuan tentang E Reinforcers dan P Kepuasan memungkinkan kesimpulan dari P Values. Wajar IIB. Pengetahuan tentang Nilai P dan P Kepuasan memungkinkan inferensi E Reinforcers. Teori Minnesota Penyesuaian Kerja 21

Tabel 1.1 (Lanjutan)
Proposisi III. P Kepuasan diperkirakan dari P KEMAMPUAN E Kemampuan Persyaratan Korespondensi, asalkan ada E Reinforcers P Nilai Correspondence.
Wajar IIIA. Kemampuan pengetahuan dari P dan P Kepuasan memungkinkan kesimpulan dari E Kemampuan Persyaratan.
Wajar IIIB. Pengetahuan tentang E Kemampuan Persyaratan dan P Kepuasan memungkinkan Kesimpulan dari P Kemampuan.
Proposisi IV. P Kepuasan moderat prediksi P Kepuasan dari E Re –
Nilai P inforcers Correspondence.
Proposisi V. P Kepuasan moderat prediksi P Kepuasan dari P Abil –
E Kemampuan ities Persyaratan Correspondence.
Proposisi VI. Probabilitas bahwa P akan berhenti E adalah berbanding terbalik dengan Kepuasan P.
Proposisi VII. Probabilitas bahwa E akan kebakaran P adalah berbanding terbalik dengan P Kepuasan. Proposisi VIII. P Periode Jabatan diperkirakan dari P dan P Kepuasan Kepuasan. Usul-usul yang diberikan II, III, dan VIII:
Wajar VIIIA. P Periode Jabatan diperkirakan dari E Reinforcers P Nilai Correspondence dan P E Kemampuan Kemampuan Persyaratan Correspondence.
Wajar VIIIB. P Periode Jabatan diperkirakan dari P-E Correspondence.
Proposisi IX. Correspondence PE meningkat sebagai fungsi dari P Tenure.
Proposisi X. P Gaya Style Correspondence E moderat prediksi P Satis –
fraksi dan P Kepuasan dari P Nilai / KEMAMPUAN E Reinforcers / Persyaratan Correspondence.
Proposisi XI. P Fleksibilitas moderat prediksi P Kepuasan dari E Reinforcers
Nilai P Correspondence.
Proposisi XII. E Fleksibilitas moderat prediksi P Kepuasan dari P Abili –
E Kemampuan ikatan Persyaratan Correspondence.
Proposisi XIII. Probabilitas bahwa P Penyesuaian Perilaku akan terjadi berbanding terbalik dengan P Kepuasan.
XIIIA wajar. Pengetahuan tentang probabilitas ini terkait dengan Kepuasan P ijin
penentuan P Fleksibilitas ambang batas.
Proposisi XIV. Probabilitas bahwa E Penyesuaian Perilaku akan terjadi berbanding terbalik dengan P Kepuasan.
XIVA wajar. Pengetahuan tentang probabilitas ini terkait dengan izin Kepuasan P penentuan Fleksibilitas E ambang batas.
Proposisi XV. Probabilitas bahwa P akan berhenti E adalah berbanding terbalik dengan P Ketekunan.
XVA wajar. Pengetahuan tentang probabilitas ini terkait dengan berhenti P E mengizinkan penentuan P Ketekunan ambang batas.
Proposisi XVI. Probabilitas bahwa E akan kebakaran P adalah berbanding terbalik dengan E Ketekunan.
XVIA wajar. Pengetahuan tentang probabilitas ini terkait dengan menembakkan E P memungkinkan penentuan Ketekunan E ambang batas.
Usul-usul yang diberikan VIII, XV, dan XVI:
Proposisi XVII. P Periode Jabatan diperkirakan secara bersama-sama dari P Kepuasan, P Kepuasan, P Ketekunan, dan E Ketekunan.
Borgen, FH, Weiss, DJ, Tinsley, HEA, Dawis, RV, & Lofquist, LH (1968). Itu
pengukuran pola kerja reinforcer. Minnesota Studies in Kejuruan Re-habilitasi (No XXV), 1-89. Minneapolis: University of Minnesota, Industri relativitas-tions Center. Carroll, J. B. (1993). Kemampuan kognitif manusia: Sebuah survei terhadap faktor-studi analitik. New York: Cambridge University Press. Cheung, F. M. (1975). Sebuah model ambang f lexibility sebagai gaya kepribadian dimensi dalam pekerjaan penyesuaian. Unpublished disertasi doktor, University of Minnesota, Minneapolis. Dawis, R. V. (1991). Kejuruan kepentingan, nilai, dan preferensi. Dalam M. D. Dunnette & LM Hough (Eds.), Handbook industri dan organisasi psikologi (2nd ed., Vol. 2, hal. 833 -871). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press. Dawis, R. V. (1992). Tradisi perbedaan individu dalam konseling psikologi. Journal of Counseling Psychology, 39, 7-19.
Dawis, R. V. (1996). Teori penyesuaian pekerjaan dan orang-lingkungan-menyurat konseling. Dalam D. Brown, L. Brooks, & Associates (Eds.), Karir pilihan dan pengembangan (3rd ed., Hal. 75 -120). San Francisco: Jossey-Bass.
Dawis, R. V. (2000). Orang-lingkungan tradisi dalam konseling psikologi. Dalam W. E.Martin Jr & JL Swartz-Kulstad (Eds.), Orang-lingkungan psikologi dan kesehatan mental (hal. 91-111). Mahwah, NJ: Erlbaum. Dawis, R. V. (2002). Orang-lingkungan-teori korespondensi. Dalam D. Brown & Associ – Ateş. Pilihan karir dan pengembangan (4th ed., Hal. 427-464). San Francisco: Jossey-Bass.
Dawis, RV, Dohm, TE, Lofquist, LH, Chartrand, JM, & Karena, AM (1987). Minnesota Sistem Klasifikasi Occupational III: Sebuah taksonomi psikologis kerja. Minneapolis: Uni-versity of Minnesota, Department of Psychology, Vocational Psychology Research.
Dawis, RV, Inggris, GW, & Lofquist, LH (1964). Sebuah teori penyesuaian kerja.
Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No XV), 1-27. Minneapolis: University of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial. Dawis, R. V., & Lofquist, L. H. (1984). Sebuah teori psikologi penyesuaian kerja. Minneapolis: University of Minnesota Press. Dawis, RV, Lofquist, LH, & Weiss, DJ (1968). Sebuah teori pekerjaan penyesuaian (revisi). Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No XXIII), 1-14. Minneapolis: University of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial.
Dawis, R. V., & Weiss, D. J. (1994). Test Kemampuan Minnesota Baterai: Technical manual. Min – Neapolis: University of Minnesota, Department of Psychology, Vocational Psychology Research. Gay, EG, Weiss, DJ, Hendel, DD, Dawis, RV, & Lofquist, LH (1971). Manual untuk Pentingnya Minnesota Questionnaire. Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No XXVIII), 1-83. Minneapolis: University of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial. Gibson, DL, Weiss, DJ, Dawis, RV, & Lofquist, LH (1970). Manual untuk Min – nesota Kepuasan Scales. Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No XVII), 1-51. Minneapolis: University of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial. Guilford, J. P. (1954). Metode psikometri. New York: McGraw-Hill.
Hakim, TA, Higgins, CA, Thoresen, CJ, & Barrick, MR (1999). Lima Besar orang – ality sifat, kemampuan mental umum, dan karir sukses di usia: Personil. Psychology, 52, 621-652. Lawson, L. (1991). Pengukuran dari f lexibility, keaktifannya, dan reactiveness menggunakan berulang-ulang metode konstruksi skala. Unpublished disertasi doktor, University of Minnesota, Minneapolis. Lofquist, L. H., & Dawis, R. V. (1969). Penyesuaian untuk bekerja. New York: Appleton-Century – Crofts.Lofquist, L. H., & Dawis, R. V. (1978). Nilai-nilai orde kedua kebutuhan dalam teori kerja penyesuaian. Journal of Vocational Behavior, 12, 12-19. Lofquist, L. H., & Dawis, R. V. (1991). Essentials orang-lingkungan-korespondensi negara – seling. Minneapolis: University of Minnesota Press. Lubinski, D., & Dawis, R. V. (1992). Bakat, keterampilan, dan keahlian. Dalam M. D. Dun – nette & LM Hough (Eds.), Handbook industri dan organisasi psikologi (2nd ed., Vol. 3, hal. 1-59). Palo Alto, CA: Consulting Psychologists Press.
Teori Minnesota Penyesuaian Kerja 23 Putaran, JB, Dawis, RV, & Lofquist, LH (1987). Pengukuran orang-lingkungan fit dan prediksi kepuasan dalam teori penyesuaian kerja. Journal of Vocational Behavior, 31, 297-318.
Putaran, JB, Henly, GA, Dawis, RV, Lofquist, LH, & Weiss, DJ (1981). Manual
Pentingnya Minnesota Kuesioner: Ukuran dari kebutuhan dan nilai-nilai kejuruan. Min-Neapolis: University of Minnesota, Department of Psychology. Scott, TB, Dawis, RV, Inggris, GW, & Lofquist, LH (1960). Sebuah definisi kerja ad – justment. Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No X), 1-75. Minneapolis: Uni-versity of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial. Shubsachs, APW, putaran, JB, Jr, Dawis, RV, & Lofquist, LH (1978). Persepsi kerja sistem reinforcer: Faktor struktur. Journal of Vocational Behavior, 13, 54 -62.
Stewart, ES, Greenstein, SM, Holt, NC, Henly, GA, Engdahl, BE, Dawis, RV,
et al. (1986). Kerja pola reinforcer. Minneapolis: University of Minnesota, De-partment Psikologi, Psychology Kejuruan Research. Tinsley, H. E. A., & Brown, S., D. (Eds.). (2000). Handbook of diterapkan multivarian statistik dan model matematika. San Diego, CA: Academic Press.
U. S. Departemen Tenaga Kerja. (1970). Manual untuk USES Test Kemampuan Umum Baterai. Mencuci ington, DC: U. S. Government Printing Office. Weiss, DJ, Dawis, RV, Inggris, GW, & Lofquist, LH (1967). Manual untuk Min – Kuesioner Kepuasan nesota. Minnesota Studies in Kejuruan Rehabilitasi (No XXII), 1-119. Minneapolis: University of Minnesota, Pusat Hubungan Industrial.





Pendekatan Individu untuk Konseling

15 02 2010

Aku telah mengunjungi banyak konseling. Konselor pertama saya bisa mendengar bagian terdalam dari keberadaan saya. Dia membantu saya bekerja melalui beberapa rasa sakit dan luka yang mendalam. Dia membantu saya memandang diriku sendiri dan membuka diri untuk perasaanku. Dia adalah seorang eksistensialis-humanis.
Terapis berikutnya menantang saya. Dia meminta saya untuk menutup mata; bisa berhubungan dengan pikiran, perasaan, dan sensasi; dan mendiskusikannya. Dia menunjukkan ketidakkonsistenan, seperti melihat bahwa aku tersenyum ketika aku sedang marah. Dia menantang saya untuk pergi lebih dalam ke dalam diri. Dia adalah seorang terapis Gestalt.
Terapis ketiga aku melihat biasa duduk di kursinya dan mendengarkan aku, jarang merespon. Aku menuduh dia sebagai seorang psikoanalis, ia tidak mengatakan apa-apa. Aku jarang menerima umpan balik. Saya kira dia adalah seorang psikoanalis, atau setidaknya berorientasi psikodinamikal.
Terapis berikutnya adalah pendengar yang baik dan menunjukkan pilihan-pilihan yang aku punya dalam hidupku. Dia mencoba untuk memahami apa yang penting bagi saya dan membantu saya untuk mendefinisikan kembali diri melalui pilihan-pilihan yang saya buat. Dia adalah seorang terapis eksistensialis yang sangat terkenal.
Aku melihat seorang behavioris untuk sementara waktu. Dia membantu saya bekerja pada isu yang sangat terfokus. Ia mengambil sejarah yang panjang, dan kemudian kami mulai bekerja. Aku agak menyukainya.
Baru-baru ini, saya melihat seorang konstruktivis. Dia membantu saya memahami bagaimana saya membuat makna keluar dari dunia. Dia melakukan hal ini dengan membantu saya dalam mengidentifikasi pikiran yang saya miliki dan dengan membantu saya melihat cara-cara yang rumit pemikiran saya mendefinisikan diri saya. Ini menarik, tetapi yakin perubahan tampaknya sulit.
Aku sudah melakukan banyak konseling. Aku pernah mengunjungi terapis laki-laki, terapis perempuan, terapis yang pendek, terapis yang tinggi, terapis yang buruk, dan terapis yang baik. Saya pikir konseling telah membantu saya menjadi orang yang lebih baik. Aku tahu itu memperdalam pemahama saya. Aku tahu itu telah membantu saya menjadi konselor yang lebih baik.
Bab ini akan memeriksa empat konsep orientasi konseling yang luas dan teori-teori yang terkait dengannya. Di bawah pendekatan psikodinamik, aku akan mereview psikoanalisis Freud, psikologi analitik Jung, terapi Adlerian, dan konsep Mahler tentang hubungan-hubungan objek terapi. Dalam arena terapi eksistensial dan humanistik, saya akan menghadirkan konseling person-centered (berpusat pada perseorangan), terapi eksistensial, dan terapi Gestalt. Dalam bidang perilaku konseling, saya akan memberikan tinjauan tentang praktek generik dari terapi behavior (perilaku) dan meninjau terapi multimodal Lazarus dan terapi realitas Glasser. Akhirnya, di bidang terapi kognitif, saya akan meninjau terapi Ellis tentang perilaku emotif yang rasional, pendekatan terapi kognitif Beck, dan pendekatan konstruktivis Mahoney. Dalam bab ini saya juga akan menyajikan dua kecenderungan baru dalam praktek konseling dan psikoterapi: eklektisisme atau pendekatan integratif, dan pendekatan brief treatment (pengobatan singkat).
Mengapa Memiliki Teori Konseling?
Dalam teori berbasis ilmu pengetahuan, sebuah siklus penemuan yang tanpa akhir dan penciptaan tes dan teori-teori perkembangan dari lingkup yang terus meningkat yang dapat membimbing praktik konseling. (Strong, 1991, h.204)
Seorang mantan profesor saya merujuk pada penemuan pengetahuan baru sebagai cabang perawan di pohon. Pengetahuan yang lalu mengarah pada penemuan-penemuan baru, dan penemuan-penemuan baru hanya hasil dari semua yang telah datang sebelumnya. Begitulah yang terjadi dengan penemuan bahwa bumi itu bulat, dan dengan teori relativitas Einstein, dan begitu seterusnya ketika obat untuk AIDS ditemukan atau teori konseling yang baru dikembangkan. Pengetahuan baru didasarkan pada suara firasat ilmiah, terhubung ke semua yang telah datang sebelumnya dan baru kemudian diterima sebagai bukti ilmiah. Seperti tercantum dalam Bab 2, pengetahuan secara berkala mengarah pada pergeseran paradigma. Hal semacam itu jarang terjadi pergeseran dan menandai perubahan dalam persepsi pengetahuan ilmiah. Menggunakan analogi pohon kita, sebuah pergeseran paradigma merupakan tunas dari pohon melahirkan cabang baru. Perubahan-perubahan dalam pemahaman kita tentang pengetahuan secara radikal mengubah persepsi tentang realitas (lihat Kotak 4.1).
Dalam arena konseling teori, hal itu tidak terjadi sampai Freud mengajukan teorinya tentang psikoanalisis bahwa teori psikoterapi pertama yang komprehensif dirumuskan. Teori Freud menciptakan sebuah pergeseran pemikiran; itu melahirkan cara baru memahami orang. Namun, teorinya tidak dikembangkan dalam ruang hampa; itu berkembang karena orang lain sebelum dia telah merenungkan pertanyaan-pertanyaan serupa. Selama bertahun-tahun kami telah belajar bahwa kita dapat membuang sebagian dari teori Freud, menerima aspek-aspek lain, dan terus menguji sisanya. Apakah itu psikoanalisis atau terapi New-Age, teori menawarkan kepada kita bingkai kerja di mana kita dapat melakukan penelitian dan akhirnya menguji aspek teori mana yang mungkin berlaku.
Sebuah teori konseling menawarkan kepada kita sebuah sistem yang komprehensif untuk melakukan konseling dan membantu kita untuk bagaimana kita membuat konsep terhadap permasalahan klien kami, dalam penerapan teknik, dan dalam memprediksi perubahan klien (Neukrug & Schwitzer, 2006). Selain itu, dengan memeriksa apa yang kita katakan kepada klien kami, kami dapat mengevaluasi apakah kita bertindak kongruen (sama) dengan teori kita. Teori-teori itu heuristik yaitu bahwa teori-teori itu dapat diteliti dan diuji dan pada akhirnya memungkinkan kita untuk membuang aspek-aspek yang terbukti tidak efektif. Bahkan lebih signifikan, memiliki teori konseling yang menyatakan kepada dunia bahwa kita tidak sembarangan dalam cara kita menerapkan pengetahuan kami (Brammer, Shostrom, & Abrego, 1993) karena untuk “berfungsi tanpa teori adalah untuk beroperasi tanpa menempatkan peristiwa-peristiwa dalam beberapa urutan dan dengan demikian fungsi tanpa arti”(Hansen, Rossberg, & Cramer, 1994, hal 9).
Kekacauan dan Teori Superstring : Pergeseran Paradigma?
Linear kami, sebab-akibat pemahaman dunia ditantang hari ini oleh dua teori: teori chaos (kekacauan) dan teori superstring. Bacalah kutipan di bawah ini dan mempertimbangkan bagaimana persepsi kita tentang dunia mungkin bisa berubah jika kedua teori yang akan ditampilkan memiliki validitas.
Teori chaos (kekacauan): … bahkan perubahan kecil dalam masukan dapat membuat sistem dinamis tertentu yang sederhana -misalnya: cuaca, fungsi jantung, pasar saham- rusak. Oleh karena itu, sejak perubahan kecil pada input (masukan) tidak dapat dihindari, seperti sistem yang harus dipertimbangkan secara inheren tidak dapat diprediksi, yaitu jumlah tertentu dari kekacauan dibangun kepadanya …. Di situ ada pesanan bersembunyi di bawah gangguan; perilaku kacau sendiri mengikuti aturan-aturan sederhana dan bentuk-bentuk pola yang dikenali.
Teori superstring: Alam semesta terdiri, bukan dari partikel subatom … tetapi dari string (tali kecil) yang diikat di ujung untuk membentuk loop (akalan, putaran). String ini eksis dalam sepuluh-dimensi alam semesta, yang kira-kira sebelum Big Bang pecah menjadi dua bagian, empat-dimensi alam semesta (kita; ditambah tiga dimensi waktu) dan enam-dimensi alam semesta yang [adalah] sangat kecil kita sehingga kita tidak bisa melihatnya. Apa yang telah dipikirkan oleh fisikawan sebagai partikel subatom sebenarnya getaran senar, seperti note yang dimainkan pada biola. (Jones & Wilson, 1995, hal 508)
Mungkin aspek terpenting dari setiap teori adalah pandangan tentang kodrat manusia, yang sangat penting untuk pembentukan teori template. Biasanya, pandangan tentang hakikat manusia yang dimiliki oleh masing-masing teori memperhitungkan efek biologi, genetika, dan lingkungan terhadap perkembangan kepribadian individu. Jadi, jika saya percaya bahwa perilaku individu ditentukan oleh genetika, teori saya akan mencerminkan gagasan ini. Di sisi lain, jika saya percaya bahwa lingkungan memegang kunci untuk pembentukan kepribadian, maka teori saya akan mencerminkan kepercayaan ini. Sebelum meninjau teori-teori dalam bab ini, Anda mungkin ingin merefleksikan pandangan Anda tentang hakikat manusia dan pembentukan kepribadian. Kemudian, membaca bab dan mempertimbangkan yang terbaik dari teori-teori sejalan dengan keyakinan Anda.
Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak perkembangan psikoanalisis, dan hari ini terdapat lebih dari 450 jenis psikoterapi (Gabbard, 1995a). Namun, umumnya sepakat bahwa, berdasarkan pada pandangan sifat manusia yang mempunyai 450 tipe ini, kebanyakan darinya dapat dikategorikan ke dalam empat atau lima konseptual orientasi. Bab ini disusun untuk memberikan informasi tentang psikodinamik, eksistensial-humanistik, perilaku, dan orientasi konseptual kognitif untuk konseling dan psikoterapi dan menawarkan gambaran beberapa dari teori-teori yang terkait dengan masing-masing. Lebih spesifik, teori psikoanalisis, konseling person-centered (berpusat pada orang), modem-day behaviorisme (perilaku modern harian), dan perilaku rasional emotif terapi, yang masing-masing terkait dengan setiap orientasi, akan disajikan dengan jumlah yang cukup detail, sementara dua atau tiga teori-teori lain dalam masing-masing orientasi akan disajikan dalam bentuk singkat. Teori-teori itu termasuk yang dipilih karena pengaruhnya di lapangan, popularitasnya, dan mungkin untuk tingkat tertentu karena bias saya sendiri. Sebagaimana Anda membaca teori-teori ini, Anda akan bisa meneliti aspek-aspek mana yang menurut Anda akan sangat berguna ketika bekerja dengan klien. Kemudian bacalah bagian tentang pendekatan integratif, kadang-kadang disebut eklektisisme, dan mempertimbangkan bagaimana Anda bisa mengintegrasikan beberapa aspek favorit Anda dari berbagai teori dalam pendekatan yang unik Anda sendiri. Sebuah pendekatan integratif digunakan oleh banyak konselor hari ini, seperti pendekatan yang relatif baru tentang terapi yang singkat, yang akan kita kaji pada penghujung bab.
Empat Konseptual Orientasi untuk Konseling dan Psikoterapi dan Teori-teori yang Terkait dengannya.
Pendekatan psikodinamik
Permulaan dan Pandangan tentang Sifat Manusia
Diawali dengan teori psikoanalisis Freud pada akhir 1800-an, banyak pendekatan untuk konseling dan psikoterapi telah dikembangkan yang dapat dianggap sebagai psikodinamik dalam sifatnya. Freud (1856-1939), yang mengembangkan di awal abad ke-20, psikodinamik mendominasi lapangan selama hampir setengah abad. Namun, karena Freud mentolerir sedikit perbedaan dari sudut pandangnya, banyak dari muridnya bahkan berpisah dari kekakuannya dan mengembangkan teori-teori sendiri yang terkait dengannya.
Teori psikodinamik berpendapat bahwa kepribadian seorang individu dibangun melalui interaksi yang kompleks dari perjalanan dan pengalaman awal. Dengan demikian, perilaku merupakan akibat dari pola anak usia dini dan sering tidak disadari. Dengan kata lain, kita memiliki kebutuhan dan keinginan yang mendorong perilaku kita dan berdasarkan pada interaksi kita dengan orang lain selama masa kanak-kanak, kita belajar cara yang berbeda dalam memuaskan perjalanan ini. Teori psikodinamik percaya bahwa sering individu melanjutkannya dalam memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang mereka lakukan ketika mereka masih muda. Teori-teori ini bersandar ke arah determinisme, sebagaimana ahli teori psikodinamik pada umumnya percaya bahwa pola awal itu sulit dan kadang-kadang tidak mungkin untuk berubah.
Melengkapi teori psikoanalisis Freud, banyak dari pendekatan psikodinamik yang lain yang telah dikembangkan termasuk teori neo-Freudian seperti Alfred Adler, Carl Jung, Harry Stack Sullivan, Otto Rank, dan Wilhelm Reich, dan teori objek-hubungan, seperti Melanie Klein, Heinz Kohut, dan Margaret Mahler. Meskipun mereka berangkat secara signifikan dari teori Freud, namun semua pendekatan psikodinamik berfokus pada bagaimana faktor-faktor lain berjalan dan memotivasi klien, bagaimana masa lalu berperan dalam pembentukan kepribadian, bagaimana kita secara sadar dan tidak sadar mempengaruhi perilaku, dan bagaimana menggabungkan kekuatan-kekuatan ini dengan cara yang rumit untuk membentuk dan untuk menentukan tingkat tertentu kepribadian individu (Day, 2004; Goldenson, 1984). Di sisi lain, beberapa perbedaan utama antara teori-teori ini tercantum dalam Tabel 4.1.
Bagian ini akan memberikan gambaran psikoanalisis dan kemudian meneliti secara singkat pendekatan neo-Freudian Carl Jung dan Alfred Adler. Akhirnya, pendekatan hubungan objek dari Margaret Mahler akan dibahas.
Psikoanalisis
Sebagai pendekatan pertama psikoterapi yang komprehendif, psikoanalisis secara dramatis mengubah pandangan kesehatan mental dan penyakit mental di dunia Barat. Freud, yang dilatih sebagai seorang dokter, untuk sebuah gelar yang besar percaya pada determinisme biologis, atau gagasan bahwa naluri dan perjalanannya sangat mempengaruhi perilaku. Namun, penjelasan Freud bagi pembentukan kepribadian jauh lebih kompleks dari sekadar pengertian biologi yang menyebabkan perilaku, karena Freud juga percaya bahwa gaya pengasuhan dalam lima tahun pertama kehidupan berinteraksi dalam cara yang kompleks dengan naluri dan tahap-tahap perkembangan yang menghasilkan kepribadian seseorang. Freud percaya bahwa kita dilahirkan dengan naluri tertentu yang menekan kita sebagaimana melewati apa yang disebut tahap-tahap perkembangan psikoseksual. Akhirnya struktur kepribadian, yang terdiri dari id, ego, dan superego, akan terbentuk melalui naluri nteraksi dinamis, perubahan perkembangan, dan pengalaman anak usia dini. Freud merasa bahwa itu perlu bagi orang untuk mengembangkan mekanisme pertahanan untuk mengatasi kecemasan alami yang melekat dalam hidup maupun sebagaimana kecemasan neurotik yang diakibatkan kesalahan orangtua dan konflik internal di antara id, ego, dan superego seseorang.
Perbandingan Psikoanalisis, Neo-Freudian, dan Teori Hubungan Objek
Psikoanalisis neo-Freudian OBJEK HUBUNGAN
•Menekankan tidak sadar.
•Menekankan dorongan
naluri.
• Menekankan pengaruh
awal perkembangan dalam
pembentukan kepribadian.
• Naluri dan perkembangan
awal menentukan perilaku.
• Perkembangan awal me-
nentukan perkembangan berikutnya.
• Sangat deterministik.

• Menekankan sadar dan
tidak sadar, dengan sadar mengambil prioritas.
• Tidak menekankan naluri.
• Individu didorong oleh
sosial dan/atau faktor-faktor interpersonal.
• Menekankan sosiokultural dan faktor-faktor internal sebagai sangat penting dalam perkembangan ke-
pribadian.
• Perilaku sangat dipenga-
ngaruhi oleh budaya dan faktor sosial.
• Perkembangan awal sering, tetapi tidak selalu, adalah kunci perkembangan selanjutnya.
• Agak deterministik. • Menekankan sadar dan
tidak sadar, dengan tidak sadar mengambil prioritas.
• Menekankan kemampuan
untuk mengendalikan nalu-
ri melalui kesadaran.
•Faktor interpersonal awal sangat penting untuk menentukan perilaku.
• Pengalaman interpersonal
awal mempengaruhi peri-
laku (naluri dapat ditengahi oleh fungsi ego).
• Perkembangan adalah
kunci, tetapi tidak selalu, menentukan perkembangan selanjutnya.
•Deterministik yang mode-
rat.

KONSEP MAYOR
Naluri.
Freud percaya bahwa ada naluri kehidupan dan naluri kematian. Naluri kehidupan meliputi seluruh dorongan yang mendukung kehidupan seseorang, termasuk rasa lapar, haus, dan energi seksual. Kadang-kadang disebut libido, naluri kehidupan mengarahkan perilaku terhadap kegiatan yang mendukung kehidupan dan akhirnya kelanjutan dari spesies. Naluri kematian, di sisi lain, adalah kecenderungan umat manusia menuju kehancuran dan pemusnahan diri. Freud percaya bahwa organisme memegang sisa-sisa dari masalah kehidupan, yang memiliki kecenderungan untuk bergerak ke arah pernyataan yang mati (Nye, 2000). Dia mendalilkan bahwa proses evolusi memelihara kecenderungan ini dan mengakibatkan kecenderungan individu untuk memproyeksikan perasaan-perasaan yang merusak diri. Insting kematian juga membantu untuk menjelaskan bunuh diri dan perilaku merusak lainnya. Lihat di sekitar kita, kata Freud, dan Anda melihat agresi merajalela, perang, perilaku menyakitkan terhadap satu sama lain, berpotensi mematikan perilaku seksual, dan bukti lain dari kebinasaan diri ; bukankah telah jelas bahwa kita sekurang-kurangnya sedikit termotivasi oleh dorongan destruktif?
Struktur Kepribadian.
Freud menggambarkan individu sebagai memiliki tiga sistem kepribadian di mana semua energi psikis yang tersebar dan sepenuhnya dikembangkan sampai pada usia 5 tahun. Individu dilahirkan dengan semua id, katanya. Sistem ini, yang berisi naluri, adalah tidak sadar dan mendorong organisme ke arah yang memiliki kebutuhannya yang dipenuhi tanpa memperhatikan aturan dan norma-norma sosial. Awal sistem yang kedua, ego, segera mengembangkan setelah lahir sebagai kenyataan hidup di dunia ini yang dihadapi oleh bayi yang baru lahir. Ego dikuasai oleh prinsip realitas seperti mencoba untuk menangani secara logis dan rasional dengan dunia ketika mencoba untuk mengendalikan id. Sistem terakhir, superego, termasuk hati nurani dan kode moral. Ini juga menghambat id dan upaya untuk menggantikan perilaku rasional ego dengan perilaku moral (lihat Kotak 4.2).
Sifat Laki-laki (dan Wanita) yang Tersembunyi.
Film yang berjudul The Hidden Nature of Man (1970) menggambarkan id, ego, dan superego dalam suatu cara yang menarik. Seorang pria muda, tertarik pada seorang wanita, makan siang dengan dia. Egonya ditunjukkan olehnya dengan duduk di meja saat ia menceritakan padanya betapa cantiknya dia terlihat. Id dan superegonya berdiri di belakangnya dan memberikan tekanan pada ego (wanita muda hanya mendengar ego berbicara). Id, berpakaian merah, berkata, “Aku mau, aku ingin! Hangat. Buah dada.” Superego, berpakaian putih, berkata, “Hormatilah ibumu. Jadilah anak yang baik.” Pria muda membuat pernyataan-pernyataan sugestif terkait dengan kembali ke apartemennya, dan akhirnya, wanita muda mencatat bahwa teman sekamarnya sedang pergi dan menyarankan mereka kembali ke apartemennya. Dengan demikian, kita melihat interaksi yang rumit dari id, ego, dan super ego. Jelas, apa yang tidak ditampilkan dalam film ini adalah id dan superego wanita itu!
Perkembangan Tahapan Psikoseksual.
Freud menyatakan bahwa jalan energi yang tersebar ke id, ego, dan superego adalah fungsi dari bagaimana anak-anak yang diasuh selama lima tahun pertama kehidupannya. Dia percaya bahwa orang tua melalui apa yang ia sebut sebagai tahap perkembangan oral, anal, dan kemaluan menentukan perilaku selanjutnya. Tahapan-tahapan perkembangan selanjutnya, yang disebut tahapan latensi dan genital, memiliki sedikit efek pada pengembangan kepribadian, katanya, tapi perilaku dalam tahapan-tahapan ini mencerminkan apa yang telah dipelajari di tiga tahapan pertama. Meskipun disebut tahapan psikoseksual, referensi Freud terhadap seksualitas anak-anak digambarkan sebagai “pengalaman yang terkait dengan penemuan anak dari kepemilikan dirinya dan makna pengalaman itu kepada orang tua anak” (Baker, 1985, hal 27) (lihat Kotak 4,3 untuk deskripsi seksualitas Freud tentang seksualitas masa kanak-kanak).
Ketika Anda membaca deskripsi singkat tentang tahapan-tahapan di bawah ini, bayangkan betapa berbedanya gaya orangtua dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian sebagai zona sensitif seksual anak bergeser dari satu bagian tubuhnya ke yang lain.
1. Tahapan Oral. Selama dalam tahap ini, terjadi antara masa kelahiran dan usia 18 bulan, zona sensitif seksual bayi adalah mulut, dan kesenangan yang diterima melalui mengisap dan makan. Pemotongan dari payudara dan / atau botol dan makanan dapat sangat mempengaruhi anak kesadaran diri dan rasa kepercayaan dan keamanan di dunia.
2. Tahapan Anal. Mendapatkan kontrol atas buang air besar adalah tugas utama dari tahapan ini, yang terjadi antara usia 18 bulan dan 3 tahun. Kesenangan diterima melalui kontrol ini, dan anak-anak mulai belajar bahwa mereka dapat mengontrol tubuh mereka serta lingkungan mereka. Bagaimana orangtua menangani pelatihan toilet dan pengalaman yang lebih luas dari pengertian anak bahwa ia bisa mengendalikan dunia sangat penting selama tahap ini (bayangkan dari “berpasangan yang mengerikan” saat si anak berusaha untuk mendapatkan caranya dan menguasai dunia ).
3. Tahapan phalik. Pengalaman yang menyenangkan dari sensasi kelamin adalah fokus utama pada tahapan ini, yang terjadi antara usia 3 dan 5 tahun. Anak-anak dalam tahapan ini akan terangsang dan memiliki ketertarikan dengan fungsi tubuh. Mereka sangat dipengaruhi oleh keharusan moral orang tua mereka.
4. Tahap latency. Sedikit terjadi dengan anak-anak selama tahap ini, antara usia 5 dan pubertas, dan ada pola tertentu yang menyiapkan anak untuk dewasa.
5. Tahap Genital. Pola perilaku yang dihasilkan dari oral, anal, dan tahapan-tahapan phalik menjadi bukti sebagai dewasa muda dan dewasa yang menunjukkan perilaku, secara sadar dan tidak sadar.
Seksualitas Masa kanak-kanak dan Perkembangan Personalitas
… Apakah ada seksualitas anak? Anda akan bertanya ….
Sumber besar kenikmatan seksual anak-anak adalah auto-eksitasi tertentu terutama bagian-bagian sensitif dari tubuh; selain alat kelamin dimasukkan dubur dan pembukaan kanal saluran kemih, dan juga kulit dan permukaan sensorik lainnya. Karena dalam fase pertama kehidupan anak kepuasan seksual terdapat pada tubuh anak sendiri dan tidak ada hubungannya dengan objek lain, kita sebut tahap ini dengan mengikuti kata yang diciptakan oleh Havelock Ellis, yaitu “auto-erotika.”. . .
Hal ini tidak dapat dihindari dan sangat normal bahwa anak harus membuat orang tuanya objek-objek dari pilihan pertamanya. Tatapi libidonya tidak boleh tetap terpaku pada objek yang dipilih pertama ini, tetapi harus membawa mereka hanya sebagai prototipe dan transfer dari orang lain ini pada masa tertentu objek-pilihannya …. (Freud, 1910, hlm. 207, 209, 213)
Mekanisme pertahanan ego.
Freud mendalilkan bahwa tekanan terus-menerus ada pada perkembangan anak untuk mengekspresikan dorongan mentah yang berasal dari id. Namun, anak dengan cepat belajar bahwa ekspresi dorongan ini tidak disetujui oleh orang tua, dan bahkan pada ahkirnya ia belajar menginternalisasi orangtua kode perilaku dalam superego. Namun, karena insting, dorongan terus eksis dan menekan pada organisme. Karena perhatian tentang orangtua mereka ‘reaksi terhadap dorongan ekspresi, anak-anak mungkin punya rasa takut dari “pemusnahan, penolakan, ditinggalkan, isolasi, pengebirian, hilangnya pengendalian diri, dan cacat definisi diri atau identitas” ( Baker, 1985, hal 26). Untuk mengelola ketakutan ini, anak-anak dan orang dewasa menciptakan mekanisme pertahanan. Sebagai contoh, pertimbangkan anak dalam tahap tahap phalik yang merangsang dirinya sendiri. Melihat anak masturbasi, orangtua menampar tangannya dan berkata, “Jangan lakukan itu.” Kemudian secara tidak sadar anak ketakutan pemusnahan dan pengebirian oleh orangtua dan mengembangkan suatu mekanisme pertahanan untuk menghadapi dorongan untuk masturbasi di masa mendatang (misalnya, menghaluskan keinginan dengan menjadi sangat terlibat dalam olahraga atau melalui dorongan mencuci tangan). Pertahanan sering secara sehat merespons terhadap rasa takut, seperti contoh olahraga, tetapi dapat menjadi disfungsional ketika pembelaan menjadi berlebihan, seperti contoh dorongan mencuci tangan.
Walaupun ada banyak mekanisme pertahanan, beberapa yang lebih umum adalah penindasan, yang mendorong keluar dari kesadaran akan mengancam atau menyakitkan kenangan; penyangkalan, realitas distorsi (penyimpangan) dalam rangka untuk menolak, dianggap ancaman terhadap seseorang; proyeksi, melihat orang lain sebagai memiliki kualitas yang dapat diterima masing-masing dirinya sendiri memiliki; rasionalisasi, penjelasan yang jauh dari luka atau sakit ego; regresi, kembali ke perilaku dari tahap awal perkembangan; sublimasi, penyaluran dorongan ke dalam bentuk yang diterima secara perilaku sosial perilaku; identifikasi, mengidentifikasi dengan kelompok-kelompok atau orang lain dalam upaya untuk memperbaiki rasa harga diri; kompensasi, melebih-lebihkan sifat-sifat positif tertentu dalam upaya untuk menutupi sifat-sifat lemah dan pembentukan reaksi, menggantikan perasaan negatif yang dirasakan dengan positif.
TEKNIK
Tradisional psikoanalisis adalah jangka panjang, proses intensif di mana terapis akan mencoba membuat ketidaksadaran menjadi sadar yaitu, untuk membantu klien dalam memahami kekuatan intrapsikis yang mengendalikan dan mengatur tingkah lakunya. Hal ini dilakukan melalui penggunaan beberapa teknik, termasuk yang berikut ini.
Penggunaan Empati. Yang penting namun jarang disorot teknik psikoanalisis adalah penggunaan empati dan keterampilan mendengarkan yang baik. Mendengarkan empati memungkinkan terapis untuk mulai membangun hubungan dengan klien sementara mengungkapkan sedikit, jika ada, tentang dirinya sendiri. Hal ini juga memungkinkan para terapis untuk mengatur hubungan transferensi.
Analisis Transferensi. Sebuah hubungan transferensi terjadi ketika klien pada terapis melihat ciri-ciri kepribadian yang sebenarnya adalah proyeksi dari kepribadian klien. Proyeksi karakteristik kepribadian difasilitasi oleh terapis dengan menyisakan menjauhkan diri dalam hubungan, sehingga menciptakan dinding kosong di proyek-proyek klien. Ini adalah alasan awalnya analis tradisional yang pada awalnya permintaan klien untuk berbaring di sofa. Tentu saja, proyeksi semacam itu mengarah pada distorsi oleh klien dari karakter terapis. Akhirnya, terapis dapat menafsirkan distorsi ini pada klien, menghubungkan mereka kembali ke hubungan masa lalu klien, dan memfasilitasi klien mengungkapan pola-pola yang signifikan dalam hubungan yang penting bagi pembentukan kepribadian klien.
Asosiasi Bebas. Dengan mendorong klien untuk mengatakan apa pun yang muncul dalam pikiran tanpa menyaring, asosiasi bebas memungkinkan ekspresi liar dari keinginan bawah sadar dan kenangan yang ditekan. Hal ini memungkinkan terapis untuk memahami pola-pola hubungan masa lalu dan bagaimana mereka membentuk pengembangan kepribadian klien.
Analisis Mimpi. Freud percaya bahwa mimpi adalah “jalan raya menuju alam bawah sadar.” Oleh karena itu, para analis akan memeriksa baik yang nyata (jelas) isi mimpi serta laten (tersembunyi) yang berarti mimpi dalam upaya untuk memahami keinginan bawah sadar dan kenangan yang tertekan. (Freud, 1900/1999).
Interpretasi Perlawanan.Freud percaya bahwa klien akan mengembangkan mekanisme pertahanan dan mulai menolak perawatan sebagai isu-isu penting yang mulai bermunculan ke permukaan. Oleh karena itu, perlawanan adalah suatu tanda untuk analis bahwa klien berusaha menghindari masalah penting. Hati-hati dengan waktu, perlawanan seperti itu dapat ditafsirkan ke klien dan kemudian dieksplorasi.
HUBUNGAN YANG TERAPEUTIK
Psikoanalisis tradisional adalah jangka panjang, proses mendalam di mana klien dapat bertemu dengan seorang terapis tiga kali atau lebih seminggu selama lima tahun atau lebih. Dalam upaya untuk membangun hubungan transferensi, konselor tetap menjauhkan diri dari klien. Sedangkan empati dan keterampilan mendengarkan sangat penting untuk awal terapi, interpretasi dan analisis teknik kemudian menjadi kunci dalam hubungan. Sebagai terapi berlanjut dan masalah diselesaikan, terapis akan mulai dilihat oleh klien dalam yang lebih objektif dancara yang realistis. Akhir dalam proses terapeutik, seperti anonimitas menjadi kurang penting, terapis dapat merasa bebas untuk mengungkapkan aspek-aspek kecil dari dirinya sendiri. Pada akhirnya, hubungan berakhir bila klien telah memperoleh peningkatan pengetahuan dan kesadaran yang mendasari dinamika dan bagaimana mendapatkan ini diungkapkan melalui pola dan gejalanya, dan ketika klien telah membuat beberapa perubahan yang didasarkan pada pemahaman ini.
SINOPSIS
Psikoanalisis adalah terapi mendalam yang membantu klien dalam membuat bawah sadar menjadi sadar. Dilihat sebagai teori pesimistis oleh banyak orang, psikoanalisis menyatakan bahwa kepribadian kita ditentukan melalui interaksi yang kompleks antara naluri kita dan pengalaman awal kita. Namun, dengan terapi intensif, kita dapat memperoleh wawasan dan menjadi sedikit lebih sadar atas konstruksi kepribadian kita. Saat sekarang, itu adalah individu langka yang dapat berpartisipasi dalam psikoanalisis tradisional, karena sangat panjang dan mahal. Dan, walaupun banyak teori belum dibuktikan melalui penelitian, banyak dari paradigma telah disesuaikan dengan pendekatan konseling lain dan bahkan dapat ditemukan di seluruh budaya kita.
Dapatkah Anda membayangkan Anda tidak memiliki kata “sadar” dalam kosakata kita, atau tidak memiliki keyakinan bahwa pengalaman awal dan dorongan mempengaruhi perilaku kita dalam beberapa cara? Jelas, ide-ide Freud telah sangat mempengaruhi pandangan kita tentang dunia.
Psikologi Analitik Jung
Seorang rekan Freud, Carl Jung (1875-1961) pada awalnya dilatih dalam tradisi psikoanalisis. Namun, ketika ia berkembang, ia menjadi kecewa oleh psikoanalisis, menggambarkan hal itu “sebagai psikologi dari pernyataan pikiran yang neurotik, pasti di satu sisi pasti… bukan psikologi dari pikiran sehat, dan ini adalah gejala dari kesakitan… ” (Jung, 1975, hal 227). Jung berangkat dari Freud atas pesimis, pandangan deterministik mengenai sifat manusia, dan juga beberapa pandangannya tentang seksualitas masa kanak-kanak. Sebaliknya, Jung optimis percaya bahwa kita bisa menjadi sadar kekuatan bawah sadar dan secara bertahap mengintegrasikan pengetahuan tersebut menjadi cara hidup yang lebih sehat.
Bagi saya, saya lebih suka melihat manusia dalam terang pada apa yang ada dalam dirinya yang sehat dan baik, dan untuk membebaskan manusia yang sakit dari hanya jenis psikologi yang mewarnai setiap halaman yang ditulis oleh Freud. (Jung, 1975, hal 227)
Jung percaya pada bawah sadar pribadi dan bawah sadar kolektif. Bawah sadar pribadi berbeda dari orang ke orang, dan salah satu dapat menjadi “sadar pada hampir segala sesuatu” di dalam bawah sadar pribadi (Jung, 1968, hal 48). Di sisi lain, hampir mistik dalam sifatnya, alam bawah sadar kolektif merupakan penyimpan dari pengalaman kuno, sebuah entitas dari awal awal peradaban yang telah diturunkan kepada kita masing-masing.
Yang terdalam yang bisa kita capai dalam eksplorasi pikiran bawah sadar adalah lapisan di mana manusia tidak lagi individu yang berbeda, tetapi di mana pikirannya melebar keluar dan menyatu ke dalam pikiran umat manusia, bukan pikiran sadar, tapi pikiran bawah sadar umat manusia, di mana kita semua sama …. Pada tingkat kolektif ini kita tidak lagi individu-individu yang terpisah, kita semua adalah satu. (Jung, 1968, hal 46)
Bawah sadar kolektif adalah baik positif maupun negatif dan dinyatakan melalui arketipe. Arketipe itu meliputi persona, atau topeng yang kita pakai dalam kehidupan publik; anima dan animus, yang mewakili karakteristik feminin dan maskulin bahwa kita semua memiliki; dan bayangan, yang mewakili paling gelap, paling tersembunyi, dan bagian-bagian yang paling menakutkan pada diri kita sendiri .
Jung percaya bahwa peran terapi adalah untuk meningkatkan kesadaran tentang alam bawah sadar kita dan bagaimana dipamerkan melalui arketipe. Kesadaran dari semua bagian dari diri kita sendiri, termasuk sisi gelap kita, adalah langkah pertama untuk integrasi dan penerimaan diri. Seperti Freud, Jung percaya bahwa alam bawah sadar kita dapat diakses melalui mimpi dan asosiasi bebas, sebagaimana apa yang disebut oleh Jung sebagai imajinasi aktif. Informasi yang diperoleh dari ketiga metode analisis memegang simbol-simbol yang merupakan sumber dari arti yang tersembunyi dan dapat membantu klien dalam memahami arketipenya.
Terapi Adlerian
Seperti Jung, Alfred Adler (1870-1937) pada awalnya dilatih dalam tradisi psikoanalitik dan menjadi kolega Freud. Namun, kekecewaan atas beberapa prinsip-prinsip dasar Freud yang dipimpin Adler untuk mengembangkan teori sendiri (Dinkmeyer & Sperry, 2000). Meskipun Adler juga percaya bahwa pengalaman anak usia dini sangat mempengaruhi perkembangan kepribadian selanjutnya, ia menduga bahwa pengalaman-pengalaman seperti itu sangat ditengahi oleh dorongan sosial daripada naluri seksual atau naluri agresif. Dan, meskipun Adler percaya pada bawah sadar, ia dipandang lebih sebagai kekurangsadaran seseorang yang melindungi harga diri, sebagai lawan dari pandangan psikoanalitik klasik sebagai sebuah mekanisme untuk melindungi diri dari dorongan naluriah (Dinkmeyer & Sperry, 2000; Watts & Shulman, 2003). Selain itu, Adler percaya bukan itu yang terjadi di masa lalu yang mempengaruhi perilaku, tetapi memori dan penafsiran dari apa yang terjadi.
Adler mengemukakan bahwa kita semua mengembangkan gaya hidup yang berusaha untuk mengkompensasi perasaan rendah diri bawaan. Cara hidup ini didasarkan pada persepsi kita masa lalu kita, khususnya bagaimana kita menganggap diri kita dalam konstelasi keluarga kita. Perasaan rendah diri memotivasi kita ketika kita berusaha untuk mengatasi mereka dan ketika kita berusaha untuk perasaan superioritas dan kesempurnaan. Seperti dengan perasaan rendah diri, Adler merasa bahwa semua individu memiliki sebuah perjuangan untuk superioritas, yang didefinisikan sebagai keinginan untuk mencapai dan melakukannya dengan baik dalam hidup. Adler percaya bahwa kita sering menjadi korban dari asumsi yang salah tentang kehidupan kita yang didasarkan pada persepsi palsu atau tidak akurat di masa lalu dan yang akhirnya mempengaruhi pilihan yang kita buat dalam hidup. Namun, berbeda dengan Freud, Adler merasa bahwa melalui proses terapeutik individu dapat dipahami gaya hidup mereka dan asumsi yang salah dan membuat perubahan yang dramatis.
Digambarkan sebagai salah satu orang pertama yang menerapkan konsep humanistik dan sistemik (Corey, 2005), Adler percaya bahwa orang dapat mengubah, membuat masa depan, membuat makna dalam hidup, menjadi tujuan yang diarahkan, dan tidak harus terbelenggu oleh peristiwa-peristiwa masa lalu. Bahkan, konsepnya tentang “dorongan” telah dilihat sebagai suatu keterampilan yang mencakup filsafat humanistik dan dapat digunakan dalam perawatan modalitas yang singkat. Keterampilan ini meliputi: menunjukkan empati, mengkomunikasikan rasa hormat dan kepercayaan, dengan fokus pada kekuatan, membantu klien menghilangkan asumsi yang salah, dan berfokus pada tujuan (Watts & Pietrzak, 2000). Dia juga merasa bahwa kesuksesan dalam hidup dapat diukur oleh tingkat individu kepentingan sosial, atau rasa keterhubungan kepada orang lain dan untuk masyarakat di seluruh dunia (Adler, 1959). Meskipun diterapkan dalam berbagai pengaturan konseling, pendekatan Adler telah diadopsi oleh banyak terutama konselor sekolah karena penekanan pada konstelasi keluarga, urutan kelahiran, dan pendidikan (Dinkmeyer & Sperry, 2000; Dreikurs, 1953).
Pendekatan Hubungan Obyek Mahler
Margaret Mahler (1968; Mahler, Pine, & Bergman, 1975/2000) menganut pendekatan hubungan objek pendekatan ke terapi, yang percaya bahwa elemen penting dalam pembentukan kepribadian adalah cara di mana bayi dan anak kecil terpisah dan terisolir dari pengasuh utama dalam beberapa tahun pertama kehidupan. Pendekatan ini, yang baru-baru ini mendapatkan popularitas, tidak menempatkan tekanan pada id sebagai penyimpan seksual dan naluri agresif seperti yang dilakukan psikoanalis tradisional. Sebaliknya, teori hubungan objek memandang gerak hati itu sebagai “selera.” Ini menunjukkan bahwa pada waktu kita mungkin memiliki keinginan untuk menjadi agresif atau seksual, tapi kami tidak menekan kompor, karena untuk melepaskan energi seperti jika gerai yang layak tidak ditemukan. Dengan kata lain, kita tidak didorong oleh yang disebut naluri.
Tidak menekankan tahapan psikoseksual Freud, Mahler dan teoritikus hubungan obyek yang lain merasa bahwa realitas yang erat dihubungkan dengan bagaimana seseorang memisahkan dari pengasuh utama.
… langkah sementara yang paling penting dalam adaptasi dengan realitas yang diperlukan yaitu, bahwa langkah di mana ibu secara bertahap ditinggalkan di luar orbit mahakuasa diri. (Mahler, 1952, hal 288)
Individuasi semacam itu, katakan terapis hubungan obyek, terjadi melalui sebuah proses pematangan dalam beberapa tahun pertama kehidupan. (Todd & Bohart, 2003). Dalam pendekatan Mahler, proses ini terjadi melalui serangkaian tahapan: autisme infantil yang normal (lahir sampai 1 bulan), simbiosis yang normal (2 hingga 3 bulan), pemisahan individuasi (4 sampai 10 bulan), berlatih (10 14 bulan), pendekatan (14 sampai 24 bulan), dan konsolidasi individualitas atau keteguhan diri (24 hingga 36 bulan).
Mahler, seperti banyak teori hubungan objek, juga percaya bahwa bayi perlu memisahkan pengalaman objek diri menjadi baik dan buruk (Alford, 1989; Klein, 1975; Kohut, 1984; Weininger, 1992). Mekanisme pertahanan ini, dikenal sebagai membelah, memungkinkan anak yang sangat muda, yang belum memiliki kapasitas untuk melihat individu sebagai kompleks, untuk membagi orang (objek!) ke salah satu dari “semua baik” atau “buruk” (misalnya, anak usia 2 tahun yang marah pada orang tuanya suatu saat, dan tergantung dan berikutnya mengasihi). Beberapa individu membawa belahan diri menjadi dewasa, kemudian melihat dunia dalam hal baik atau buruk, atau memiliki sebuah mentalitas “kami dan mereka” (misalnya, teroris yang melihat dunia secara dualistik). Orang semacam ini juga cenderung memiliki untuk memiliki kesulitan dalam hubungan seperti ketika suatu saat ia mencintai, saat berikutnya membenci. Dalam kenyataannya, pemisahan ini dipandang sebagai proyeksi dari awal pengalaman individu pengalaman yang terselesaikan dengan pengasuh utama, yang pada berbagai waktu yang dirasakan oleh anak muda sebagai baik atau jahat. Salah satu tantangan utama untuk klien (dan orang-orang pada umumnya) adalah untuk mendapatkan kapasitas untuk mengintegrasikan buruk dan gambar yang baik dari orang lain dan dengan demikian mempertahankan pandangan orang yang lebih kompleks.
Karena terapi hubungan objek memelihara banyak ajaran analisis tradisional, pendekatan mereka terhadap terapi dapat dilihat sebagai suatu jangka panjang, mendalam, proses analitis yang mencoba untuk memiliki orang yang memahami pengalaman awal dalam hal pemisahan dan individual. Hal ini dilakukan dengan menggunakan terapis yang memiliki empati dan penafsiran sebagai klien perlahan-lahan anak usia dini menghidupkan kembali konflik dengan orangtua. Akhirnya, klien mampu mengintegrasikan model orang tua baru dan menjadi individual. Pada intinya, terapis menjadi orangtua yang sehat yang tidak pernah dimiliki klien (Masterson, 1981).
Pendekatan Eksistensi Humanistik
Permulaan dan Pandangan Sifat Manusia
Pada pergantian abad keduapuluh, filsafat eksistensial, dengan penekanan pada bagaimana orang membuat makna, menjadi filsafat populer di dunia Barat. Filsuf seperti Kierkegaard, Tillich, Sartre, Camus, dan lain-lain menulis tentang perjuangan hidup dan bagaimana orang-orang membangun makna dalam hidup mereka. Banyak dari filsafat eksistensial mengkitik metode psikoanalitik untuk pandangan deterministik (misalnya, Sartxe, 1962). Dengan bangkitnya Nazi Jerman, banyak filsuf Eropa dan psikoterapis yang memegang pandangan eksistensial manusia berimigrasi ke Amerika Serikat. Pandangan-pandangan eksistensial mereka dengan cepat diambil oleh banyak psikoterapis Amerika yang mencari yang lebih optimistik, kurang deterministik, dan lebih manusiawi dalam cara kerja dengan klien.
Berbeda dengan pandangan deterministik psikoanalisis, pendekatan eksistensial-humanistik percaya pada kehendak bebas, bahwa individu secara sadar atau tidak sadar membuat keberadaan mereka dan, bila diberikan pada keadaan yang tepat, dapat menciptakan kembali keberadaan mereka-dengan kata lain, perubahan. Sebagian besar pendekatan eksistensial-humanistik percaya bahwa ada kecenderungan bawaan bagi individu untuk mengaktualisasikan diri untuk memenuhi potensi mereka jika mereka diberikan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan (Maslow, 1968, 1970).
Pendekatan eksistensial-humanistik mengambil perspektif fenomenologis ketika mereka menekankan realitas subjektif klien. Selain itu, pendekatan ini tidak menekankan peran bawah sadar sedangkan kesadaran ditekankan. Eksistensial-humanis percaya bahwa kecemasan adalah bagian alami dari hidup maupun pesan tentang keberadaan seseorang.
Setiap pilihan yang kita buat, termasuk memilih untuk tidak memilih, adalah keputusan tentang eksistensi kita dan ini tercermin dalam bagaimana kita merasakan tentang diri kita dan bagaimana kita memperlakukan orang lain. Oleh karena itu, terapis eksistensial-humanistik jangan mencoba untuk “memperbaiki” atau usaha perbaikan seseorang perasaan cemas, tetapi berusaha untuk membantu klien membuat makna keluar dari kecemasan yang ia mengalami. Sangat menentang reduksionistik, tradisi nonpersonal psikoanalisis dan awal terapi perilaku, terapi eksistensial-humanistik menekankan kualitas pribadi dari profesionalisasi dan bagaimana terapis menggunakan dirinya sendiri dalam hubungan untuk perubahan.
Walaupun banyak pendekatan di masa modern ini untuk konseling dan psikoterapi telah meminjam konsep dari aliran eksistensial-humanistik, beberapa teori-teori secara khusus mewujudkan pandangan-pandangan yang baru saja dibahas dan cukup menonjol di lapangan. Pendekatan berpusat pada orang milik Carl Rogers mungkin paling mempengaruhi seni psikoterapi, dan kita akan menggali pendekatan ini dalam beberapa detail. Kami juga akan mengambil sekilas tentang terapi yang kadang-kadang disebut “terapi eksistensial” di sekolah yang merupakan konglomerasi dari sejumlah terapi berbasis eksistensial seperti terapi yang dilakukan oleh Viktor Frankl (1963), Rollo May (Mei, Angel, & Ellenberger, 1958), dan Dugald Arbuckle (1975). Akhirnya, kami juga akan mengambil sekilas terapi Gestalt, yang awalnya didirikan oleh Fritz Perls. Terapi Gestalt sangat populer di negara ini selama bertahun-tahun dan cenderung untuk menawarkan pandangan yang unik tentang bagaimana filsafat eksistensial dan humanistik dapat diterapkan.
Konseling Berpusat pada Orang
Dilatih sebagai seorang psikolog klinis dengan pengaruh dari psikoanalisis dan filsafat pendidikan (Rogers, 1980a), Carl Rogers (1902-1987) sangat mengubah wajah psikoterapi dengan perkembangan dari pendekatan konseling yang tidak langsung (Rogers, 1942). Pertama, disebut terapi berpusat pada klien (Rogers, 1951), dan kemudian konseling berpusat pada orang, pendekatannya tidak hanya dilihat sebagai cara untuk membantu klien, tetapi sebagai suatu cara hidup (Rogers, 1980b). Dianggap sebagai psikoterapis yang paling berpengaruh pada abad keduapuluh (Kirschenbaum & Henderson, 1989), Rogers percaya bahwa orang-orang memiliki kecenderungan aktualisasi (Rogers, 1951), dan, jika ditempatkan dalam lingkungan perawatan, akan berkembang menjadi sadar sepenuhnya, memfungsikan diri sepenuhnya. Namun, terlalu sering, Rogers mendalilkan, proses perkembangan alami individu digagalkan sebagai kondisi tempat lain yang bernilai pada orang. Karena orang memiliki kebutuhan yang kuat untuk dapat dianggap positif oleh orang lain, dia mungkin bertindak tidak wajar, cara yang tidak nyata dan mengembangkan kesadaran diri menyimpang untuk memenuhi kondisi yang berharga tersebut. Terapi, kata Rogers, menawarkan kesempatan individu untuk mewujudkan peningkatan rasa kesesuaian dengan seseorang diri sejati dan mencapai pengertian yang lebih realistis dari apa yang disebut Rogers sebagai diri ideal, atau diri kita berjuang untuk eksis (Rogers, 1959).
Rogers merasa bahwa orang bisa berhubungan dengan diri sejati mereka jika mereka berada di sekitar orang lain yang nyata (asli atau kongruen), empatik, dan menunjukkan penilaian positif tanpa syarat. Rogers menyebut keaslian, empati, dan penilaian positif tanpa syarat terhadap “kondisi inti” dan percaya bahwa atribut-atribut ini, dengan sendirianya, cukup untuk memfasilitasi perubahan (Rogers, 1957).
Karena Rogers merasa bahwa sifat-sifat empati, harmoni, dan penilaian positif tanpa syarat itu penting dalam semua hubungan interpersonal, ia menghabiskan banyak waktu kemudian dalam hidupnya advokasi untuk perubahan sosial dan membantu orang memahami perbedaan di antara mereka sendiri (Kirschenbaum & Henderson, 1989). Bekerja dengan orang-orang seperti Protestan dan Katolik di Irlandia Utara, orang kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan, dan individu-individu dalam apa yang kemudian terjadi di Uni Soviet, ia berusaha untuk mendapatkan orang-orang yang memegang filsafat yang berbeda secara luas sudut pandangnyauntuk mendengar satu sama lain dan membentuk kedekatan, hubungan jangka panjang (lihat Kotak 4.4).
Aku Kira Tidak Ada Orang yang Sempurna — Bahkan Tidak D. Rogers
Pada akhir 1970-an aku pergi untuk mendengarkan Carl Rogers berbicara untuk kedua kalinya. Saya gembira, Rogers adalah pahlawanku. Ada ribuan orang sebagai penonton, dan ketika ia menjawab pertanyaan-pertanyaan, aku malu-malu mengacungkan tangan. Tiba-tiba, ia menunjuk padaku. Aku berdiri dan berkata sesuatu, dan pada saat ia meminta saya untuk mengulangi, aku mencoba lagi merumuskan pertanyaan saya, dan dia mengatakan sesuatu seperti, “Saya tidak dapat memahami apa yang sedang Anda bicarakan.” Dia pindah ke pertanyaan lain. Saya merasa hancur, sakit hati, dan merasa seperti gulungan menjadi bola. Dan dia – ya, Carl Rogers- sudah tidak begitu peduli dengan konselor muda ini. Saya kemudian menemukan bahwa bahkan para pahlawan kita tidak sempurna.
KONSEP UTAMA
Rogers percaya bahwa perubahan kepribadian akan terjadi jika kerangka terapeutik termasuk apa yang disebut “kondisi yang diperlukan dan memadai”:
• Dua orang yang berada dalam kontak psikologis.
• Yang pertama, yang akan kita istilahkan klien, adalah dalam keadaan incongruence, menjadi mudah diserang atau cemas.
• Orang kedua, yang akan kita istilahkan terapis, adalah kongruen atau terintegrasi dalam hubungan.
• Pengalaman terapis penilaian positif tanpa syarat terhadap klien.
• Pengalaman terapis pada pemahaman empatik dari kerangka internal klien dari acuan dan upaya untuk mengkomunikasikan pengalaman ini kepada klien.
• komunikasi untuk klien dari pemahaman empati terapis dan penilaian positif tanpa syarat adalah tingkat minimal yang dicapai (Rogers, 1957, hal 96).

Rogers percaya bahwa jika konselor bisa menawarkan kondisi ini kepada klien, klien akan mulai terbuka dan mengerti rasa sakit dan luka masa lalu yang disebabkan oleh hubungan kondisional dalam kehidupan klien. Dalam kenyataannya, hubungan terapeutik seperti itu bisa membantu klien untuk mengubah perilaku dan membantunya dalam gerakan dari diri palsu ke diri sejati. Hasil dari terapi lain dapat memasukkan peningkatan keterbukaan terhadap pengalaman, lebih objektif dan persepsi yang realistis, peningkatan penyesuaian psikologis, meningkatkan kesetaraan, meningkatkan harga diri, gerakan dari eksternal ke kontrol lokus internal, lebih pada penerimaan dari orang lain, pemecahan masalah yang lebihbaik, dan persepsi yang lebih akurat dari orang lain (Rogers, 1959).
TEKNIK
Rogers menolak untuk menggunakan kata teknik dalam menggambarkan bagaimana konselor bekerja sama dengan klien, sebagaimana dia yakin istilah ini tidak menggambarkan esensi dari hubungan pribadi begitu penting untuk sifat membantu. Namun, ia menghabiskan banyak waktu untuk mendefinisikan tiga kualitas pribadi konselor yang efektif penting untuk membantu: kesesuaian, penilaian positif tanpa syarat, dan empati.
Kesesuaian atau keaslian.Rogers percaya bahwa konselor perlu berhubungan dengan perasaannya, terlepas dari apa yang mereka dapat. Seorang konselor kemungkinan memiliki perasaan negatif yang kuat atau perasaan positif yang kuat terhadap klien, atau perasaan mungkin muncul dalam konselor selama sesi yang mungkin misterius, mengancam, atau menakutkan (Rogers, 1957). Dalam sebuah kasus, konselor perlu berhubungan dan menyadari perasaan ini. Tingkat keterbukaan diri, terapis menunjukkan bahwa klien, bagaimanapun, mungkin bervariasi tergantung pada sesi dan apakah perasaan itu terus-menerus atau tidak. Rogers mencatat bahwa meskipun ia mungkin memiliki perasaan negatif terhadap beberapa klien selama sesi, hampir selalu perasaan ini didisipasi sebagai klien untuk membuka dan terurainya batin. Inilah sebabnya mengapa ia memperingatkan terapi untuk tidak menggunakan pengungkapan diri yang berlebihan. Namun, pada saat yang sama, ia merasa penting untuk menjadi nyata dalam hubungan. Menemukan keseimbangan antara kesadaran konselor dari perasaannya sendiri dan ekspresi perasaan-perasaan itu dalam upaya nyata adalah salah satu tantangan yang dihadapi terapi yang berpusat pada orang.
Penilaian Positif tanpa Syarat. Rogers percaya bahwa hubungan konseling harus digarisbawahi oleh rasa penerimaan, tanpa perasaan apa yang dinyatakan oleh klien. Dengan kata lain, konselor tidak boleh menerima perasaan dan pengalaman tertentu dari klien dan menyangkal orang lain. Penerimaan tanpa syarat ini memungkinkan klien untuk merasa aman dalam hubungan dan untuk menggali lebih dalam ke dirinya sendiri. Ketika klien mulai mengambil langkah-langkah menuju memperdalam pemahaman diri ini, ia akan memahami aspek-aspek dirinya yang palsu dan yang nyata. Dengan kata lain, klien akan mulai melihat bagaimana ia hidup dari kehidupan palsu sebagai akibat dari kondisi masa lalu yang layak ditempatkan atas dirinya. Meskipun Rogers menyatakan bahwa hal positif tanpa syarat harus hadir untuk keseluruhan sesi, ia mengakui bahwa ini adalah yang ideal dan menunjukkan bahwa semua terapis harus terus berusaha mencapai keadaan diri ini.
Pemahaman Empatik. Mungkin yang paling banyak diteliti dan dibicarakan tentang unsur hubungan konseling, empati atau pemahaman yang mendalam mengenai klien adalah konsep Rogers tentang elemen ketiga yang penting dalam hubungan membantu. Pemahaman seperti ini dapat ditunjukkan dalam berbagai cara, termasuk keakuratan yang mencerminkan makna dan pengaruh apa yang diungkapkan oleh klien; menggunakan metafora, analogi, atau gambar visual untuk menunjukkan klien bahwa ia adalah mendengar secara akurat, atau hanya menganggukkan kepalanya atau dengan menyentuh klien secara lembut pada saat klien dalam kesakitan yang mendalam. Pengakuan dari kesulitan klien semacam itu mengatakan bahwa pengalaman dunia terapisnya “seolah-olah itu miliknya sendiri, tapi tanpa pernah kehilangan ”seolah-olah” berkualitas (Rogers, 1957, hal 99). Dengan kata lain, terapis adalah “dengan” klien; “mendengar” klien; memahami klien sepenuhnya, dan mampu mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada klien.
Selama bertahun-tahun, penjelasan Rogers tentang mendengarkan dengan empati telah ditafsirkan dan sering dikemas ke dalam apa yang sekarang banyak kita sebut “refleksi perasaan,” atau menirukan apa yang dikatakan klien. Dalam salah satu artikel yang terakhir yang ditulis oleh Carl Rogers, ia menyuarakan amarah terhadap beberapa cara konsepnya tentang pemahaman empatik telah ditafsirkan. Melihat khususnya penggunaan istilah “refleksi dari perasaan” dan “menirukan” pernyataan klien, Rogers menyatakan bahwa dia tidak pernah mengartikan konselor untuk meniru apa yang dikatakan klien, tetapi untuk menggunakan semua kemungkinan jalan untuk menunjukkan kepada klien bahwa konselor memahami caranya membuat makna keluar dari dunia.
Dari sudut pandang saya sebagai terapis, saya tidak berusaha untuk “mencerminkan perasaan.” Saya mencoba untuk menentukan apakah pemahaman saya tentang dunia batin klien sudah benar, apakah saya melihatnya sebagai dia mengalami hal itu saat ini. … Apakah saya menangkap hanya warna, tekstur dan rasa dari makna pribadi di mana Anda mengalaminya sekarang? (Rogers, 1986, hal 376)
Rogers mencatat bahwa tanggapan empatik yang terbaik kepada klien adalah mereka yang di dalamnya ada terapist mampu untuk “subceive” perasaan di balik perasaan-perasaan yang disadarai oleh klien. Sebagai lawan dari perasaan yang menafsirkan bahwa terapis berpikir, klien mungkin akan mengalami, perasaan subceiving, berarti bahwa terapis merasakan perasaan terdalam dari klien, perasaan yang klien mungkin tidak menyadari. Hanya ketika klien setuju bahwa ia mengalami perasaan-perasaan ini adalah terapis “on target” dengan responnya.
HUBUNGAN TERAPEUTIK.
Seperti bisa diduga, Rogers memandang hubungan terapi sebagai salah satu di mana konselor secara efektif mampu mewujudkan dan mempertahankan kondisi inti empati, keaslian, dan penilaian positif tanpa syarat. Kemampuan konselor untuk melakukan ini adalah secara langsung berhubungan dengan klien mengalami penuh perhatian, hubungan empatik di mana klien merasa diterima. Hubungan semacam ini memungkinkan klien untuk mengalami tingkat yang lebih mengetahui tentang diri sendiri, gerakan fasilitas klien menuju kesadaran diri yang lebih benar, dan membangkitkan kemampuan klien untuk mengalami beberapa dari banyak hasil terapi seperti disebutkan sebelumnya.
Ketika awalnya dikembangkan, konseling yang berpusat pada orang dianggap sebagai terapi jangka pendek, setidaknya dibandingkan dengan yang kemudian populer dengan metode psikodinamik. Namun, dengan perubahan belakangan ini dalam sistem perawatan kesehatan dan bergerak ke arah perlakuan singkat, apa yang secara tradisional dianggap jangka pendek sekarang dipandang sebagai jangka panjang. Meskipun prinsip-prinsip koseling berpusat pada orang dapat diterapkan jika anda bertemu dengan seorang klien satu kali atau selama lima tahun, umumnya konseling berpusat pada orang berlangsung dari beberapa bulan sampai satu tahun atau lebih. Mungkin faktor paling penting dalam menentukan lamanya pengobatan adalah tingkat kesesuaian di klien dan jenis masalah klien membawa pengobatan. Namun, perlu dicatat bahwa banyak konselor saat ini telah terintegrasi keterampilan inti yang digunakan dalam konseling yang berpusat pada orang dengan banyak pendekatan jangka pendek yang saat ini digunakan.
SINOPSIS
Rogers mengembangkan jenis terapi yang telah mempengaruhi konseling dan praktek psikoterapeutik mungkin lebih daripada yang lain. Atribut kesesuaian, penilaian positif tanpa syarat, dan empati telah menjadi kondisi utama yang digunakan oleh banyak terapis di seluruh disiplin ilmu yang berbeda-beda. Filsafat humanistiknya tidak hanya mempengaruhi cara di mana terapis berinteraksi dengan klien tetapi juga berdampak pada hubungan manusia di seluruh dunia. Meskipun filosofi ini telah dikritik oleh beberapa orang sebagai terlalu sederhana, banyak terapis mengalami kesulitan mewujudkan kualitas empati, keaslian, dan penilaian positif tanpa syarat. Sepanjang tahun penelitian, konseling berpusat pada orang telah diterapkan dengan benar telah terbukti efektif dengan berbagai klien.
Pengaruh Roger dari kerangka eksistensial-humanistik itu jelas. Percaya bahwa orang dapat berubah, teori ini sangat anti deterministik. Mempercayai dunia logis klien, Rogers tidak menawarkan tujuan yang telah ditetapkan atau kerangka penafsiran di dalam usaha untuk memahami dan bekerja dengan klien. Sebaliknya, Rogers menunjukkan bahwa proses aktualisasi bawaan klien, jika diperbolehkan untuk berkembang melalui penggunaan kondisi intinya, akan memfasilitasi gerakan klien melalui proses perubahan. Positif ini, terpusat pada orang, pendekatan tidak langsung, Rogers berpendapat, bisa membuat manfaat dan perubahan tahan lama untuk klien.
Terapi Gestalt. Dikembangkan oleh Fritz Perls (1969), humanistically eksistensial ini didasarkan pada saham terapi beberapa prinsip dasar konseling yang berpusat pada orang, tetapi berbeda secara drastis dalam implementasi dan penggunaan teknik-teknik. Seperti konseling berpusat pada orang, terapi Gestalt adalah pendekatan antideterministik yang mengusulkan secara agresif bahwa individu memiliki kemampuan untuk merubah dengan menjadi lebih sadar diri. Namun, terapis Gestalt percaya bahwa individu-individu mencapai jalan buntu dalam hidup mereka, atau mendapatkan “terjebak dalam neurosis” dan akan memuntahkan “tahi gajah” supaya menjaga neurosis mereka. Terlalu menakutkan, kata Perls, untuk menhentikan pola neurotik ini. Inilah sebabnya mengapa ahli terapi Gestalt mengambil aktif, pendekatan direktif untuk proses perubahan, sebuah pendekatan yang dihadapi klien ke kesadaran.
Mengambil perspektif fenomenologis yang kuat dengan menyatakan bahwa kesadaran sama dengan realitas, terapis Gestalt percaya kenyataan sering tertutup oleh urusan yang belum selesai dari masa lalu. Oleh karena itu diperlukan untuk mendorong klien untuk mengalami “sekarang.” Kesadaran semacam itu akan membantu klien memahami bagaimana ia menggunakan dukungan eksternal untuk menyembunyikan masa lalunya yang sakit dan nyeri. Eksternal seperti mendukung mungkin mencakup penggunaan perilaku nonverbal (bayangkan seseorang yang tanpa sadar menepuk kaki ketika subjek kecemasan yang potensial itu dibawa), atau intellectualizing (menghindari perasaan seseorang dengan membawanya kepada kepala seseorang), atau menyalahkan orang lain (daripada mengambil tanggung jawab karena kurangnya belajar, seseorang menyatakan bahwa ujian tengah semester itu tidak adil).
Karena pendekatan terapi Gestalt menganggap bahwa individu memiliki kecenderungan untuk menghindari urusan yang belum selesai, terapis Gestalt telah mengembangkan sejumlah teknik untuk menghadapi klien ke kesadaran (Passons, 1975; Zinker, 1978, 1998).
TEKNIK
Latihan kesadaran. Dengan teknik ini, terapis meminta klien untuk menutup matanya dan pengalaman semua perasaan, pikiran, dan indera yang lazim. Hal ini memungkinkan klien untuk mengakses cepat berhubungan dengan perasaan atau pikiran yang tersembunyi yang dipertahankan melawan ketika seseorang menggunakan dunia luar untuk menghindari indra batin.
Penggunaan pernyataan “saya”. Dengan mengasumsikan bahwa salah satu pertahanan yang paling sering digunakan oleh klien adalah proyeksi isu-isu ke orang atau hal, terapis akan mendorong klien untuk menggunakan pernyataan “saya” sesering mungkin. Misalnya, “dunia ini menyebalkan,” menjadi “Saya payah, saya tidak bertanggung jawab untuk kebahagiaan saya.”
Teknik Melebih-lebihkan. Dengan teknik ini, para terapis meminta klien untuk melebih-lebihkan kata, frase, atau perilaku nonverbal bahwa terapis percaya memiliki beberapa arti yang tersembunyi. Sebagai contoh, seorang klien yang membungkuk mungkin akan diminta untuk membungkuk lebih lanjut dan untuk melampirkan kata-kata untuk apa ia begitu membungkuk. Satu klien mungkin berkata, “Saya merasa seolah-olah dunia di pundakku.” Eksplorasi dilanjutkan oleh terapis mungkin menemukan bahwa “dunia” merepresentasikan tuntutan klien merasa menempatkan pada dirinya. Eksplorasi lebih lanjut klien mengungkapkan bagaimana menyalahkan orang lain atas ketidakmampuannya untuk berhenti mengambil tugas.
Teknik Kursi Kosong. Teknik Gestalt yang populer ini meminta klien untuk membayangkan bahwa seseorang atau suatu bagian dari diri klien duduk di kursi kosong. Terapis kemudian membantu untuk memfasilitasi dialog antara klien dan ini “orang lain” dalam rangka untuk mengungkap masalah yang tergeletak di bawah isu-isu dalam klien. Sebagai contoh, seorang terapis bisa meminta klien yang merasa seolah-olah ia memiliki dunia di pundaknya untuk berkomunikasi dengan dunia, akhirnya sampai ke arti tersembunyi “dunia” berlaku.
Memainkan Proyeksi. Ketika seorang individu mempunyai perasaan yang kuat tentang orang atau hal-hal lain, terapis bisa meminta klien untuk membuat sebuah “pernyataan saya” tentang orang atau hal. Asumsi di sini adalah bahwa perasaan klien yang kuat tentang “lain” adalah benar-benar sebuah proyeksi dari perasaan yang kuat tentang dirinya. Bayangkan seorang klien yang menyatakan bahwa dia tidak mempercayai seseorang dalam hubungan, mengatakan “Saya tidak mempercayai diri saya dalam hubungan dengan orang.”
Merubah Pertanyaan Menjadi Pernyataan Tentang Diri. Terapis Gestalt berasumsi bahwa semua pertanyaan menyembunyikan pernyataan tentang diri seseorang. Oleh karena itu, terapis meminta klien untuk mengubah pertanyaan menjadi pernyataan tentang diri. Bayangkan seorang klien bertanya, “Mengapa orang tidak peduli lagi tentang orang lain?” dan kemudian mengubah pertanyaan menjadi pernyataan, “Saya merasa bahwa orang tidak peduli padaku.”
Teknik-teknik Lain. Dengan mengasumsikan bahwa orang akan sering menghindari tanggung jawab, proyek yang lain, dan mencoba untuk menemukan cara-cara tidak berurusan dengan perasaan yang tersembunyi, ahli terapi Gestalt menggunakan berbagai teknik-teknik lain untuk menghadapi klien ke dalam kesadaran. Misalnya, mereka mendorong klien untuk “tetap dengan perasaan,” untuk memainkan bagian-bagian yang berbeda dari mimpi-mimpi mereka, untuk membuat pernyataan yang menyatakan bahwa mereka bertanggung jawab atas perilaku mereka, dan / atau untuk bertindak keluar dari perilaku yang berlawanan atau gejala yang mereka tampak untuk menunjukkan.
Sebagai kesimpulan, terapis Gestalt adalah sebuah keaktifan, terapis yang langsung yang memiliki orientasi eksistensial-humanistik dan berbagi banyak tujuan yang sama dengan terapi berpusat pada orang tetapi dia memfasilitasi pertumbuhan klien pada cara-cara yang sangat berbeda dengan menggunakan berbagai teknik.
Terapi Eksistensial
Sejumlah teoretisi milik sekolah terapi yang mengandalkan langsung pada filosofi eksistensi ketika bekerja dengan klien. Individu-individu semacam Dugald Arbuckle (1975), Rollo May (1950; Mei dkk., 1958), dan Viktor Frankl (1963) telah sangat mempengaruhi pendekatan ini untuk psikoterapi. Corey (2005) mengidentifikasi enam prinsip atau prinsip-prinsip dasar yang tampaknya umum di antara pendekatan mereka. Mereka termasuk:
1. Kapasitas untuk kesadaran diri. Semua orang mempunyai kapasitas untuk kesadaran diri.
2. Kebebasan dan tanggung Jawab. Semua orang memiliki kemampuan untuk membuat beberapa pilihan, terlepas dari keadaan mereka, dan perlu mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka pada masing-masing pilihan sebagai seseorang yang akan mempengaruhi orang lain.
3. Berjuang untuk identitas dan hubungan. Kita memiliki kemampuan untuk menciptakan identitas kita dan untuk membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain.
4. Mencari arti. Bagian dari proses hidup alami melibatkan pencarian makna dan tujuan dalam hidup.
5. Kecemasan sebagai kondisi hidup. Sifat pilihan berarti bahwa kecemasan adalah suatu kondisi hidup alami –kita selalu memilih untuk menjalani hidup sepenuhnya atau mati.
6. Kesadaran kematian dan ketidakberadaan. Ketika kita bergerak melalui kehidupan menuju kematian kita, kita memiliki kapasitas untuk menjadi sadar akan pilihan yang kita buat dan bagaimana mereka mempengaruhi pilihan kesadaran diri kita dan kehidupan orang lain.
Meskipun tidak ada teknik preset bahwa terapis eksistensial yang digunakan dalam menerapkan prinsip-prinsip di atas, terapis yang paling eksistensial akan menekankan pentingnya hubungan antara terapis dan klien, membahas filosofi dari psikoterapi eksistensial dan bagaimana hal itu bisa diterapkan pada individu situasi kehidupan tertentu, akan autentik dengan klien, dan melihat proses terapeutik sebagai perjalanan bersama. Perjalanan bersama ini penting karena hanya melalui hubungan asli perubahan itu dapat terjadi. Terapi ini tidak dilihat sebagai suatu proses menerapkan teknik tetapi sebaliknya dipandang sebagai diskusi bersama berkenaan dengan makna hidup dan bagaimana seseorang dapat membuat perubahan yang konstruktif untuk mengubah salah satu rasa kepuasan dan kebermaknaan. Oleh karena itu, melekat pada terapi eksistensial adalah asumsi bahwa klien dapat berubah, memiliki kemampuan untuk memperdalam kesadaran diri, dan dapat membangun hubungan yang bermakna dan nyata dengan terapis yang dapat berdampak pada kedua klien dan terapis kehidupan .
Meskipun mereka memiliki tujuan dan filosofi dasar yang mirip dengan berpusat pada orang dan pendekatan terapi Gestalt, terapis eksistensial (1) cenderung lebih bersifat mendidik daripada terapi berpusat pada orang di mana bahwa mereka bebas mengajarkan konsep eksistensial, (2) biasanya tidak merasa terikat oleh Rogers kondisi inti dalam membantu klien untuk mencari keberadaan mereka dan cara-cara membuat makna, (3) umumnya tidak begitu konfrontatif seperti terapi Gestalt, dan (4) merasa bebas untuk menggunakan teknik yang akan meningkatkan kesadaran klien mengenai dasar prinsip-prinsip eksistensial.
Pendekatan Perilaku
Permulaan dan Pandangan Sifat Manusia
Sekitar pergantian abad, ilmuwan Rusia Ivan Pavlov (1848-1936) menemukan bahwa anjing yang lapar berliur ketika diperlihatkan makanan akan belajar untuk mengeluarkan air liur ke nada jika nada itu berulang kali dipasangkan atau berhubungan dengan makanan. Dengan kata lain, akhirnya anjing akan mengeluarkan air liur ketika mendengar nada, terlepas dari apakah makanan yang hadir. Pavlov menutupi apa yang kemudian disebut pengkondisian klasik. John Watson (1925; Watson & Raynor, 1920) dan kemudian Joseph Wolpe (1958) pada akhirnya mengambil konsep-konsep ini dan menerapkannya dalam pengaturan klinis.
Selama tahun 1930-an psikolog B. E Skinner (1904-1990) menunjukkan bahwa binatang akan belajar perilaku spesifik jika perilaku hanya yang dipancarkan diperkuat (Nye, 1992, 2000; Skinner, 1938, 1971). Prosedur persyaratan instrumental menunjukkan bahwa penguatan yang positif, pemberian stimulus yang menghasilkan peningkatan perilaku, atau penguatan negatif, penghapusan stimulus yang menghasilkan peningkatan perilaku, dapat berhasil mengubah perilaku. Jadi Skinner menjadi mahir melakukan perubahan perilaku pada binatang-binatang yang selama Perang Dunia Kedua ia dapat memperkuat merpati positif sehingga mereka akan mengemudikan pesawat dengan bahan peledak melekat terhadap target musuh (Skinner, 1960)! Meskipun akurasi yang besar, militer memutuskan untuk tidak menggunakan rudal yang diarahkan merpati. Sama pentingnya dengan menemukan bahwa penguatan positif dan penguatan negatif dapat mengubah perilaku adalah penemuan bahwa hukuman, penambahan sebuah rangsangan permusuhan berikut perilaku yang tidak diinginkan, sangat miskin sarana untuk memodifikasi perilaku (Skinner, 1971).
Selama tahun 1940-an Albert Bandura menemukan bahwa anak-anak yang melihat sebuah film di mana seorang dewasa bertindak secara agresif ke arah boneka Bobo akan bertindak lebih agresif daripada anak-anak yang belum pernah melihat film, ketika semua anak-anak ditempatkan di sebuah ruangan bersama-sama (Bandura, Ross, & Ross, 1963). Pendekatan perilaku ketiga ini, dikenal sebagai pembelajaran sosial atau model, juga menunjukkan bahwa walaupun kita sering tidak segera memancarkan perilaku yang telah kita lihat, kita memiliki kemampuan untuk memancarkan perilaku di kemudian hari (Bandura, 1977).
Tiga pendekatan perilaku pengkondisian klasik, instrumental conditioning, dan pemodelan berbagi pandangan umum sifat manusia dan telah diterapkan secara luas dalam konteks psikoterapi. Umumnya, ketika bekerja dengan klien, tiga pendekatan ini digabungkan untuk membayar pengobatan sepenuh mungkin (Krumboltz, 1966b; Lazarus, 1971).
Perilaku tidak stres bawah sadar dan tidak menempatkan penekanan pada memperoleh informasi tentang pengalaman masa kanak-kanak kita. Sebaliknya, pendekatan ini mengasumsikan bahwa kita telah belajar perilaku kita saat ini dan dapat mempelajari perilaku baru dengan menerapkan prinsip-prinsip perilaku. Oleh karena itu, dengan menggunakan pengkondisian klasik, pengkondisian instrumental, atau modeling secara ilmiah dan cara empiris cara, kita dapat menjelajahi dengan klien kita jenis perilaku mereka ingin mengubah dan menggunakan pendekatan-pendekatan ini untuk membantu mereka dalam perubahan proses. Walaupun masa lalu mungkin penting dalam pengkondisian perilaku kita saat ini, berfokus pada masa lalu tidak dianggap penting dalam perubahan perilaku.
Pada awal hari, pendekatan perilaku dipandang sebagai pendekatan direktif untuk bekerja dengan klien di mana bahwa dalam situasi orang yang ditolong diperiksa dan didiagnosis, dan strategi untuk perubahan perilaku diusulkan dan dilaksanakan oleh para terapis. Namun, pentingnya membangun hubungan melalui pendekatan sebagai nondirective seperti penggunaan empati dan pemodelan telah menjadi terkenal baru-baru ini (Spiegler, 1998). Di samping itu, berbeda dengan awal behavioris yang menganut secara ketat pada paradigma perilaku mereka, sekarang sering melihat behavioris meminjam teknik dari aliran terapi lain terapi ketika bekerja dengan klien. Bahkan, behavioris modern jarang melihat proses psikoterapeutik dalam cara-cara kaku behavioris awal (Corey, 2005). Sebagai contoh, sejak tahun 1960-an banyak behavioris telah menyertakan sebuah komponen kognitif pendekatan terapi perilaku (Beck, 1976; Ellis & Harper, 1997; Meichenbaum, 1977), dan hari ini banyak terapis menggunakan prinsip-prinsip tingkah laku sambil bekerja dalam suatu humanistik atau bahkan kerangka psikodinamik.
Hari ini, adalah cukup umum menemukan terapis mengidentifikasi diri mereka sebagai behavioris kognitif, berlawanan dengan semata-mata menjadi kognitif atau perilaku (lihat O’Donohue, Fisher, & Hayes, 2003). Untuk alasan sejarah, serta masalah kejelasan, bab ini akan memisahkan dua pendekatan. Dalam bagian ini tentang perilaku, kami akan terlebih dahulu menyajikan sebuah pendekatan generik ke terapi perilaku modern yang telah dipengaruhi oleh individu-individu seperti Skinner, Wolpe, Krumboltz, Watson, dan Lazarus. Diskusi ini akan diikuti oleh deskripsi singkat dari dua cabang terapi perilaku: terapi multimodal Lazarus dan terapi realitas Glasser. Kemudian dalam bab ini kita akan dibahas pendekatan kognitif ke terapi.
Perilaku Saat Modern
Saat ini banyak perilaku terapis telah mengadaptasi teori-teori pengkondisian instrumental, kondisi klasikal, dan pemodelan menjadi satu proses perilaku yang komprehensif. Pendekatan seperti itu dapat digambarkan melalui serangkaian tahapan.
TAHAP TERAPEUTIK
Tahap 1: Membangun Hubungan. Selama tahap ini, tujuan utama terapis adalah untuk membangun hubungan yang kuat dengan klien dan mulai dengan jelas mendefinisikan tujuan terapi. Membangun hubungan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan tidak lazim untuk menemukan perilaku terapis menggunakan empati dan keterampilan mendengarkan, menunjukkan kepedulian dan memandang positif, dan mendiskusikan isu-isu dangkal dalam upaya untuk bersikap ramah dan membangun kepercayaan. Sebagai sebuah dukungan, hubungan kepercayaan ini dikembangkan, terapis mulai menjelajahi daerah problem tertentu di mana klien ingin untuk disapa.
Tahap 2: Mendefinisikan Masalah dan Menetapkan Tujuan. Selama tahap kedua, sangat penting bahwa konselor memperoleh informasi yang akurat dan berjangkauan yang luas tentang masalah yang didefinisikan. Oleh karena itu konselor harus cukup aman atas informasi latar belakang yang memadai tentang klien dan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menyelidik untuk mengungkapkan sifat sejati dari masalah. Sebuah masalah yang salah diagnosis menata panggung untuk penggunaan teknik-teknik yang salah. Setelah masalah itu dengan jelas diidentifikasikan, biasanya dianjurkan untuk mendapatkan baseline (garis dasar) pada frekuensi, durasi, dan intensitas. Ini membantu klien dan terapis untuk sepenuhnya memahami luasnya masalah. Setelah mengumpulkan semua informasi ini, klien, bekerjasama dengan konselor, dapat mulai menentukan isu untuk fokus dan mengatur beberapa tujuan tentatif.